Pages - Menu

Senin, Mei 07, 2012

7 Kode Etik Pengguna Facebook (Facebookers)

 Dicopy dari http://www.facebook.com/notes/abu-zurah-ath-thaybi/tujuh-kode-etik-facebooker/383107641730729

Kode etik ini berisi tujuh poin. Lima poin pertama untuk dijahui dan dua poin terakhir bersifat anjuran. Berikut penjelasannya.


1 ::


Tidak Menulis kecuali Apa yang Diridhai Allah


Ingatlah, tidak ada satupun kata yang terucap ataupun kata yang terangkai melainkan dicatat oleh malaikat yang bertugas mencatat. Allah yang Maha Mendengar berfirman:
((مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ))
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” [QS. Qaf [50]: 18]

Terkadang, seorang facebooker menulis apa yang tidak penting dan tidak pula mendesak. Ini adalah sikap yang kurang baik. Boleh jadi seseorang menulis satu kata yang sepele menurutnya tetapi di sisi Allah besar dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ»
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang remeh, tetapi karena itu dia tergelincir ke neraka sejauh antara timur dan barat.” [Muttafaqun ‘Alaih: Shahih al-Bukhari (no. 6477) dan Shahih Muslim (no. 7406)]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:
«كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا» فَقُلْتُ: يَا نَبِيَ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ مِمَّا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: «ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ -أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ- إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ»
“Tahanlah ini darimu.” Saya (Mu’adz) berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah kami akan disiksa hanya karena ucapan kami?” Beliau menjawab, “Celaka engkau hai Mu’adz, Bukankah yang menenggelamkan manusia ke neraka di atas wajah-wajah mereka –atau atas hidung-hidung mereka­– tidak lain karena hasil lisan-lisan mereka?” [Shahih: Sunan at-Tirmidzi (no. 2616). Dinilai hasan shahih oleh at-Tirmidzi dan shahih oleh al-Albani]

Facebooker muslim adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, sebagai konsekuensinya mereka menjaga lisan dan tangannya dari ketersia-siaan. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada mereka:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam saja.” [Muttafaqun ‘Alaih: Shahih al-Bukhari (no. 6018) dan Shahih Muslim (no. 47)]

Mengobral semua yang terlintas dibenaknya tanpa peduli apa bermanfaat atau cuma sampah yang sia-sia, bukanlah karakter mereka bahkan itu hanya dilakukan oleh orang-orang rendahan. Adapun facebooker muslim akan meninggalkan setiap yang sia-sia dan mengambil setiap yang baik dan yang terbaik, sebagai pengamalan firman Allah:
((الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ))
“Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti perkataan yang terbaik.” [QS. Az-Zumar [39]: 18]

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ»
Di antara baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.” [Shahih: Sunan at-Tirmidzi (no. 2318) dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Misykah (no. 4839)]


2 ::

Tidak Mengeluh Kecuali Hanya kepada Allah 


Aduh, lagi bokek ne ...


Aduh, hujan lagi! hujan lagi! Jadi bete nggak bisa ke mana-mana ...


Hari ini gue bete sekali. Sudah capek-capek pergi kuliah pake ontel, eh ternyata dosennya nggak dateng. Belum lagi saat pulang ontel gue bocor. Waduh ...!


Kita membayangkan jika seandainya keluhan-keluhan di facebook dibukukan, maka akan menjadi buku ensiklopedi jumbo karena saking banyaknya. Lihatlah postingan kebanyakan facebooker, jika Anda tidak percaya.

Jika mau direnungkan, apa guna berkeluh-kesah. Apakah dengan mengeluhkan keadaan, seketika keadaannya akan berubah? Apakah dengan berkeluh-kesah akan merubah takdir?

Disebutkan dalam kisah salafush shalih bahwa seorang alim mengadakan safar dengan temannya. Di jalan, temannya ini mengeluh, “Panas sekali hari ini, aduh!” Katanya sambil mengelap keringat di pelipisnya.

Alim itu berkata, “Wahai saudaraku, apakah kamu sekarang sudah merasa dingin?”

“Tidak. Kenapa?”

“Jika kamu tahu bahwa keluhanmu tidak bisa merubah keadaan, lantas apa guna mengeluh? Seandainya waktumu kau gunakan untuk berdzikir, tentu akan lebih baik bagimu.” [Selesai secara makna]

Ya! Apa guna mengeluh!

Facebooker muslim akan menjadikan Ya’qub alahimus salam sebagai teladan baginya dalam hal ini. Ya’qub kehilangan putranya yang tercinta –Yusuf alaihis salam– saat masih kecil, lalu hilang pula putra kesayangannya yang kedua –Bunyamin–. Ya’qub mengalami kesedihan yang sangat mendalam dan banyak menangis hingga akhirnya hal tersebut menjadikannya buta.
((قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوْسُفَ حَتَّى تَكُونَ حَرَضًا أَوْ تَكُوْنَ مِنَ الْهَالِكِيْنَ))
“Mereka (anak-anak Ya’qub) berkata, ‘Demi Allah, senantiasa Ayah mengingat Yusuf hingga Ayah mengidap penyakit yang berat atau Ayah akan termasuk orang-orang yang binasa.” [QS. Yusuf [12]: 85]

Namun, Ya’qub tidak mengeluhkan dan mengadukan penderitaanya kepada siapa pun, tidak pula anak-anak dan istrinya. Mereka baru menyadari beratnya penderitaan Ya’qub saat menjelang kebutaannya, ini sebagaimana yang dikatakan sebagian ahli tafsir. Beliau hanya mengadukannya kepada Allah yang Maha Lembut dan Maha Penyayang.
((قَالَ إِنَّمَا أَشْكُوْ بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ))
“Yakub berkata, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” [QS. Yusuf [12]: 86]


3 ::

Tidak Mentazkiyah Diri dan Pamer Amal 


Mentazkiyah diri maksudnya menganggap dirinya suci. Mungkin kita pernah melihat beberapa postingan facebooker yang terasa mengunggulkan dirinya sendiri.

Alhamdulillah, hari ini saya masih bertahan berpuasa padahal tidak sahur. Semoga diterima Allah.


Tadi malam saya hanya bisa shalat Tahajjud dua rakaat dan satu plus witirnya, padahal biasanya saya mampu tiga belas rakaat. Mungkin, karena sore harinya terlalu capek ngajar TPA.


Aku tidak menyangka kalau hari ini aku berhasil menghafal satu surat, padahal hanya satu kali duduk. Memang benarlah kata pepatah: man jadda wajada “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan memperolehnya.” :-)

Allah melarang berbuat demikian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
((فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى))
“Maka, janganlah kalian menganggap suci diri-diri kalian. Dia lebih mengetahui siapakah orang yang bertakwa.” [QS. An-Najm [53]: 32]

Ibnu Katsir berkata:
تُمْدِحُوْهَا وَتَشْكُرُوْهَا وَتَمَنَّوْا بِأَعْمَالِكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Kalian memuji dan merasa telah mensyukuri diri sendiri serta merasa telah berjasa dengan melakukan amalan-amalan, sementara Allah lebih tahu siapakah yang orang bertakwa.” [Tafsir Ibnu Katsir (VII/462)]

Abu Hurairah bercerita:
أَنَّ زَيْنَبَ كَانَ اسْمُهَا بَرَّةً فَقِيْلَ تُزَكِّى نَفْسَهَا فَسَمَّاهَا رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ زَيْنَبَ
“Sesungguhnya Zainab bernama asli Barrah (yang banyak kebaikannya) sehingga terkesan menyanjung dirinya sendiri, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Zainab.” [Shahih: Shahih Muslim (no. 2141)]

Jika bentuk pamer amal ini berupa menampakkan amal untuk memberi contoh kepada orang lain, maka diperbolehkan jika hatinya bisa selamat dari rusaknya niat.

Dikisahkan bahwa ada sekelompok orang Badui menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka miskin dan membutuhkan bantuan. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para shahabatnya untuk berkenan membantu keperluannya. Namun, para shahabat lambat dan enggan melaksanakannya hingga membuat para Badui sedih. Kemudian, tiba-tiba datanglah seorang Anshar membawa bantuan. Kemudian hal ini diikuti oleh shahabat lainnya, sehingga senanglah orang-orang Badui itu. Lantas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ»
“Barangsiapa yang memberi contoh yang baik dalam Islam lalu dikerjakan orang lain setelahnya, maka ditulis baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” [Shahih Muslim (no. 1017) dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu]


4 ::

Tidak Menjatuhkan Saudaranya 


Niat baik tidak selalu hasilnya baik, jika tidak diolah dengan baik. Manusia adalah tempat salah dan lupa. Terkadang ketika seseorang  melihat saudaranya salah, lantas dengan semangat dia menasihatinya meskipun di depan umum, tanpa memperhatikan sikon (situasai dan kondisi). Hendaklah hal ini dihindari.

Ketahuilah, manusia itu mempunyai sifat suka dipuji, dihormati, dan diperhatikan. Sebaliknya, mereka tidak suka dikritik dan dikoreksi, apalagi di depan umum. Jika Anda melanggarnya, teman Anda akan merasa jengkel dan dia suka untuk tidak bertemu dengan Anda lagi.

Ketahuilah, nasihat itu seperti cambuk dan tentu akan menimbulkan rasa sakit jika tidak tepat dalam mengayunkannya. Maka, peringanlah cambukanmu. Caranya adalah nasihatilah lewat message (menyendiri), jangan di wall-statusnya (di depan umum). Imam asy-Syafi’i berkata:
تَعَمَّدْنِيْ بِنُصْحِكَ فِي انْفِرَادِيْ * وَجَنِّبْنِيْ النَّصِيْحَةَ فِي الْجَمَاعَةِ
فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَوْعٌ * مِنَ التَّوْبِيْخِ لاَ أَرْضَى اسْتِمَاعَهُ
وَإِنْ خَالَفْتَنِيْ وَعَصَيْتَ قَوْلِيْ * فَلاَ تَجْزَعْ إِذَا لَمْ تُعْطَ طَاعَةٌ
“Berilah aku nasihatmu saat kesendirianku
Jahuilah olehmu menasihatiku di depan umum
Sebab, nasehat di depan manusia merupakan
bentuk penghinaan. Aku tidak suka mendengarnya.
Jika kamu menolak dan mengindahkan ucapanku ini
Maka, jangan berkeluh kesah apabila nasihatmu tidak aku terima.”
[Diwan Imam asy-Syafi’i (hal. 75)]

Kita menyayangkan ada sebagian orang yang tidak mengindahkan kaidah ini, sehingga setiap kali saudaranya memposting sesuatu, serta merta dia berkomentar, “Afwan Akhi, yang benar adalah seperti ini,” “Ana pernah membaca di kitab anu dan bunyinya tidak seperti antum. Antum salah Akhi,” “Semoga Allah mengampunimu! Bukan begitu maksud hadits itu tetapi demikian.” Atau komentar-komentar yang semakna. Yang lain lebih keras lagi, “Bantahan atas Kesalahan Note Fulan..” Padahal yang dibantah itu adalah teman karibnya sendiri dan dia belum mengklarifikasi. Hendaknya hal ini dihindari.

Biasanya, motif memberi nasihat dan kritik di depan umum –Allahu a’lam– adalah agar nampak di mata manusia bahwa si penasihat dan pengkritik jauh lebih pintar daripada selainnya. Tentu hal ini mengurangi keikhlasan seseorang sehingga mengakibatkan nasihat dan kritikannya tidak berkah.

Ini hukum asal menyikapi kesalahan saudara kita. Untuk kondisi tertentu, boleh jadi menasihati di depan umum lebih dianjurkan, misalkan dia secara terang-terangan menyerukan kepada kesyirikan dan kebid’ahan. Namun, hati-hatilah dalam bertindak, sebab jika Anda ceroboh berarti Anda telah siap kehilangan teman satu demi satu.

Satu hal lagi, saat menasihati saudara, posisikan diri Anda sebagai ibu yang menginginkan kebaikan bagi anaknya bukan seperti polisi yang mengintrogasi lagi memaksa. Sebab, tugas Anda hanya menyampaikan nasihat tidak menvonisnya dan memaksakan nasihat Anda untuk diterimanya. Jika dia menerima maka itulah! Jika tidak menerima, maka Anda telah terbebas dari kewajiban dan urusannya terserah Allah. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ
“Karena sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan dan kewajiban Kami menghisabnya.” [QS. Ar-Ra’d [13]: 40]


5 ::

Tidak Menyebarkan Paham Sesat 


Jangan sekali-kali seseorang dengan sengaja menyebarkan paham sesat di facebook. Sebab, akibatnya sangat fatal bagi pelaku dan korban karena apa yang telah masuk internet bisa diakses oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Dia akan memikul dosanya sendiri dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ دَعَا إِلىَ ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا»
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia menanggung dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” [Shahih: Shahih Muslim (no. 2674) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Kita tentu mengenal putra Adam yang telah membunuh saudaranya. Dia adalah manusia pertama yang melakukan pembunuhan. Maka, setiap pembunuhan yang terjadi, dia mendapat jatah dosanya, meskipun dia tidak bermaksud memberi contoh pembunuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ»
“Tidaklah satu jiwa dibunuh secara zhalim, melainkan anak Adam yang pertama menanggung dosanya, karena dialah yang pertama kali memberi contoh pembunuhan.” [Muttafaqun ‘Alaihi: Shahih al-Bukhari (no. 3335) dan Shahih Muslim (no. 1677) dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu]

Lantas, bagaimana jika facebooker dengan sengaja menyebarkan pahamnya agar kesesatannya diikuti orang lain? Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah.

Termasuk kategori di sini adalah menyebarkan sontekan ujian yang dirahasiakan. Syaikh Shalih al-Munajjid berkata:
فَانْصَحْ مَنْ يَقُوْمُ بِبَيْعِ الْأَسْئِلَةِ أَوْ شَرَائِهَا أَوْ يَقُوْمُ بِنَشْرِهَا عَبْرَ شَبْكَةِ الْإِنْتِرْنِتِ وَغَيْرِهَا وَالَّذِيْنَ يَقُوْمُوْنَ بِإِعْدَادِ أَوْرَاقِ الغَّشِّ، وَقُلْ لَهُمْ أَنْ يَتَّقُوْا اللَّهَ، وَأَخْبِرْهُمْ بْحُكْمِ فِعْلِهِمْ وَحُكْمِ مَكْسَبِهِمْ
“Nasehatilah orang-orang yang melakukan jual-beli jawaban atau yang mempublikasikannya, atau yang menyebarkannya lewat internet dan semacamnya, serta orang-orang yang menyiapkan kertas sontekan. Katakan kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan kabarkan kepada mereka akibat buruk perbuatan mereka itu.” [Isyrûna Nashîhatan lit Thullâb fil Ikhtibârât (hal. 45) oleh Syaikh al-Munajjid]


6 ::

Menjadikan Facebook Sebagai Sarana Memperkuat Persaudaraan 


Nikmat Allah begitu banyak. Jika kita menghitungnya, tentu tidak akan bisa menghinggakannya. Di antara nikmat itu adalah nikmat Facebook –terlepas dari penemunya yang seorang Yahudi dan kita pun berlepas diri darinya–. Nikmat Allah secara asal hukumnya mubah untuk dimanfaatkan. Namun, bisa menjadi haram, makruh, anjuran, bahkan wajib, tergantung sikap seseorang terhadapnya. Ini sebagaimana pendapat Syaikh al-Albani ketika menjelaskan tentang nikmat televisi.

Alhamdulilah, dengan facebook saudara kita yang secara tempat, waktu, dan sikon tidak memungkinkan dikunjungi, bisa dengan mudah berkomunikasi dengannya lewat facebook. Ini adalah kesempatan yang baik untuk merajut kembali tali persaudaraan. Berikut contoh-contohnya:
  • Menanyakan kabarnya serta keluarga dan anak-anaknya jika sudah menikah.
  • Jika benar-benar Anda melihat padanya keimanan yang ihsan, akhlak yang baik, dan keshalihan yang langka, dan Anda mencintainya karena Allah, maka sampaikan kepadanya bahwa Anda mencintainya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ»
“Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia memberitahukannya bahwa dirinya mencintainya.” [Shahih: Sunan Abu Dawud (no. 5124) dari Miqdad bin Ma’di Karib radhiyallahu ‘anhu. Dinilai shahih oleh al-Albani]

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللَّهِ إِنِّيْ لَأُحِبُّ هَذَا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: «أَعْلِمْتَهُ؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «أَعْلِمْهُ» قَالَ: فَلَحِقَهُ فَقَالَ: إِنِّيْ أُحِبُّكَ فِي اللَّهِ، فَقَالَ: أَحَّبَكَ الَّذِيْ أَحْبَبْتَنِيْ لَهُ
“Seorang lelaki berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, lewatlah orang lain. Maka, lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku benar-benar mencintai orang itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah sudah kamu beritahukan kepadanya?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Maka, lelaki itu mengejarnya lantas berkata, “Sungguh, aku mencintaimu karena Allah.” Dia menjawab, “Semoga mencintaimu Dzat yang kamu mencitaiku karena-Nya.” [Hasan: Sunan Abu Dawud (no. 5125). Dinilai hasan oleh al-Albani]
  • Berikan tanggapanmu kepada saudaramu, maka dia akan semakin cinta kepada Anda. Jika Anda membaca postingan atau note miliknya dan Anda mendapati faidah dalam notenya, maka jangan pelit untuk memberi komentar minimal menge-LIKE. Bayangkanlah diri Anda ketika postingan atau note Anda banyak yang membaca dan memberi tanggapan, tentu Anda merasa dihargai, jerih payah Anda mengarangnya tidak sia-sia dan akan timbul rasa senang pada diri Anda kepadanya. Sungguh, membuat hati saudara senang karena Allah adalah bentuk ibadah kepada-Nya. Renungkanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka Anda akan mendapati bahwa ‘illat hadits adalah membuat saudara seislam merasa senang.
«لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ»
“Janganlah kamu menyepelekan kebaikan apapun, meskipun sekedar kamu menemui saudaramu dengan wajah ceria.” [Shahih: Shahih Muslim (no. 2626) dan ini lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (no. 1833) dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu]
  • Berilah dia link-link bermanfaat, seperti: link kajian ilmiyah as-Sunnah (ex: kajian.net), link artikel ilmiah (ex: muslim.or.id), link para ustadz (ex: abiubaidah.com), dan link masyayikh (ex: binothaimeen.com), dan link kitab ulama salaf berbahasa Arab (ex: almeshkat.net).
Sebuah kisah. Di sebuah taklim di Kertajaya Surabaya, saya sempat berkenalan dengan seorang bapak yang sudah berkeluarga. Usai itu, kami berbincang-bincang. Ternyata taklim ini adalah taklim pertama yang diikutinya. Rupanya beliau termotivasi dengan ilmu karena menemukan sebuah situs kajian Islam (kajian.net). Beliau sering mendowload kajian mp3 di situs tersebut dan mendengarkannya. Alhamdulillah, dari situs tersebut beliau mengenal tauhid yang dibawa para nabi dan rasul, dan mengenal syirik sehingga menjauhinya.


7 ::

Menyebar dan Berbagi Ilmu 


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا»
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” [Shahih: Shahih Muslim (no. 2674) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Ini adalah perdagangan yang menguntungkan dalam Islam. Maka, ambillah transaksi ini, meskipun dengan hanya sekedar mengutip satu atau dua paragraf ayat, hadits, faidah ayat-hadits, dan perkataan ulama. Kita tidak tahu, mungkin dengan tulisan yang sederhana itu bisa menimbulkan pengaruh padanya: yang tadinya malas shalat jadi berjamaah, yang tadinya suka boros jadi suka berderma. Alhamdulillah.

Umar bin Khaththab berkata:
قَيِّدُوْا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
“Ikatlah itu dengan tulisan.” [Syarhus Sunnah (I/ 295) oleh Imam al-Baghawi. Ucapan ini juga pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Imam asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu]

Tulisan merupakan peninggalan yang sangat bermanfaat karena faidahnya masih bisa dia rasakan meskipun telah wafat.

Jangan ada orang yang berkata, “Buat apa kita harus menulis artikel? Buat apa kita memposting artikel orang lain? Bukankah di internet sudah banyak dan melimpah ruah?” Kita jawab, “Banyaknya artikel yang ada belum bisa mengimbangi banyaknya manusia yang mengakses internet. Bahkan, berapa pun banyaknya artikel ilmiah akan tetap bermanfaat bagi umat. Belum lagi, di internet banyak sampah pemikiran sesat bak jamur di musim hujan. Allahul Musta’an.”

Demikian Kode Etik Facebooker yang telah disempurnakan, jika ada poin yang berseberangan dengan nash, maka layak untuk ditinggalkan.

Alhamdulillah yang karena nikmat Allah amal shalih jadi sempurna.

Surabaya, 30 Maret 2012
Abu Zur’ah ath-Thaybi


Referensi:

 
  1. Shahih al-Bukhari karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari al-Ju’fi (w: 256 H), Penerbit: Dar Ibnu Katsir Beirut th. 1407 H/1987 M, Tahqiq: Dr. Mushthafa al-Bagha dosen Ilmu Hadits di Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus, 6 Jilid.
  2. Shahih Muslim karya Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (w: 261 H), Penerbit: Ihyaut Turats al-Arabi Beirut, Tahqiq: Dr. Muhammad Fuad Abdul Baqi, 5 Jilid.
  3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani as-Azdi (w: 275 H), Pentahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Penerbit: Darul Fikr, 4 Jilid.
  4. Sunan at-Tirmidzi karya Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi (w: 249 H), Pentahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Penerbit: Ihyaut Turats al-Arabi Beirut, 5 Jilid.
  5. Syarhus Sunnah karya al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (w: 516), Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair asy-Syawisi, Penerbit: al-Maktab al-Islami, cet. ke-2 th. 1430 H/1983 M, 15 Jilid
  6. Tafsir Ibnu Katsir karya Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisy ad-Dimasyqi (w: 774 H), Tahqiq: Sami Muhammad Salamah, Penerbit: Darut Tayyibah, cet. ke-2 th. 1420 H/1999 M, 8 Jilid
  7. Diwan Imam asy-Syafi’i karya Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w: 204 H), Dikumpulkan dan Disyarah: Dr. Mufid Qumaihah, Penerbit: Darul Kutub al-Ilmiyyah, cet. ke-6 th. 2010 M
  8. Isyrûna Nashîhatan lit Thullâb fil Ikhtibârât karya Syaikh al-Munajjid, cet. al-Maktabah asy-Syamilah
  9. Al-Maktabah asy-Syamilah Versi 10 000 Kitab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.