Sabtu, Mei 26, 2012

Mahasiswa sekarang seharusnya seperti ini,

Hari ini, saya hadiahkan apresiasi tertinggi kepada seorang mahasiswi. Ia tampil sangat elegan menghadapi lima dosen penguji. Ia pertahankan karya ilimiahnya dengan penuh spirit, tiada ‘ketakutan’ yang tergambar di wajahnya. Iapun tak segan-segan minta pertanyaan diulangi kepada seorang professor. “Maaf Prof. Apa pertanyaannya boleh diulangi?”


Tiada perlulah saya ceritakan bagaimana debat ilmiah itu dimulai. Saya terkesima saat sang professor berucap tegas: “Mestinya Anda merujuk ke teori yang ada”. Dengan sigap sang kandidat menjawab: “Saya jenuh dengan teori orang lain Prof. Saya justru ingin membuat teori”. Kian terkesima saya mendengar langsung sanggahan mahasiswiku ini.

Saya amati, mahasiswi ini sangat ekspresif. Ia bangga ungkapkan apa yang dia inginkan. Calon sarjana ini sungguh memukau di mata saya. Pertama kalinya, saya sebagai penguji kagum dengan anak ini. Saya perhatikan, tak ada ucapan berlebihan dan subyektif akan jawaban-jawaban mahasiswi ini.

Hari ini cita-cita saya tergapai, lama sudah saya rindukan sebuah ujian skripsi berlangsung debat ilmiah. Bukan sebuah formalitas yang membuat suasana ujian jauh dari atmosfir akademik. Skripsi adalah buatan murni seorang mahasiswa akhir. Saya sangat percaya, mahasiswi ini membuat skripsi dengan penuh naluri keilmuwan, roh skeptisnya terhadap sebuah perkembangan keilmuan benar-benar tampak dari hasil karya dalam penguasaannya. Potret ini sangat berbeda ekstrim jika seorang mahasiswa akhir yang skripsinya ‘dibuatkan’ orang lain. Wajahnya penuh ketegangan, ketakutan, dan terhantui rasa non akademis dan rasa bersalah.

Hari ini, durasi ujian berlangsung alot dan menyita waktu dua jam. Bukan basa-basi, perdebatan benar-benar sarat keilmiahan. Bahkan ada penguji yang dibuatnya ‘grogi’, karena pemandangan ilmiah ini pertama terjadi di kampus ini. Apalagi setingkat ujian skripsi, yang identik dengan manut-manutnya seorang kandidat. Angguk-angguk kepala bukan sepenuhnya menunjukkan sebuah kesopanan tetapi tak lebih dari sebuah rasa takut ketidaklulusan alias UJIAN ULANG.

Saya sering terheran-heran, seorang kandidat di ujian thesis malah tak sanggup mempertahankan karya ilmiahnya, padahal yang lebih menguasai thesis buatannya itu adalah dirinya sendiri. Bukan dosen penguji.

Ketakutan apakah yang sebetulnya di diri setiap kandidat?. Sungguh saya sayangkan sebab ajang ujian skripsi, thesis, bahkan disertasi kadang menjadi momok non teknis, terjatuh bukan lantaran nuansa akademik tapi karena faktor lain yang di luar marka-marka akademik.

Di akhir ujian skripsi sang mahasiswi ini, kami berlima sebagai penguji melakukan rapat penentuan kelulusan/ketidaklulusan. Dimintalah sang mahasiswi ini berdiri di depan meja ujian. Sang profesor menyampaikan rekapitulasi hasil ujian, penuh ketegasan profesor ini membacanya: “Saudari kandidat. Setelah memperhatikan proses ujian, nilai dari setiap penguji serta sikap Saudari selama ujian berlangsung. Maka dengan ini, Saudari dinyatakan tidak lulus”.

Pembacaan hasil keputusan ini tak membuat sang kandidat goyah, sedih, apalagi menangis. Ia malah berucap:“Terima kasih Prof. Saya tidak terima ketidaklulusan ini. Saya mohon tunjukkan dimana kesalahan jawaban saya sehingga nilai saya rendah. Jika terbukti secara ilmiah, jawaban saya salah. Saya terima hasil keputusan ketidaklulusan saya”.

Sang profesor diam sejenak, beliau lalu berkata: “Andai semua mahasiswaku seperti Anda, sayalah orang yang paling bangga di dunia ini. Anda benar-benar memperjuangkan hak-hak akademik Anda. Budaya debat ilmiah dari Anda membuat saya kagum. Kami nyatakan Anda LULUS dengan Cum Laude”.
Cek sumber

Beberapa tanggapan dari kaskuser

Originally Posted by denisatriawan
Saya beranggapan biasa saja terhadap mahasiswanya. karena memang begitulah seharusnya.
Yg saya salutkan adalah profesionalisme profesornya serta para penguji.
Logikanya begini, mahasiswa bisa bersikap seperti itu karena memang dibimbing dengan baik oleh para pendidiknya. Hal2 terkait sikap mahasiswa dalam menempuh ilmu berbanding lurus dengan keprofesionalismean para dosen.
Dosen Profesional = Mahasiswa Idealis
Dosen NonProfesional = Mahasiswa Skeptis

Yang jadi permasalahan di Indonesia adalah sangat jarang ditemukan dosen yg benar2 profesional. padahal dosenlah yg menjadi CONTOH PALING BAIK pembentukan sikap mahasiswa.

Real Story: Temen ane pernah disuruh buatin Tesis dosen ane (mungkin sekitar 50%). temen ane ngerjainnya cuma bermodalkan googling di Internet dan berpetualang di beberapa perpus yg ada di kota ane. Temen ane terpaksa ngerjain tu Tesis karena dilema akan posisinya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kalau dia tidak ngerjain tu tesis, dia bakal lama lulus. N kalau kejadian tersebut dilaporkan k dekan, atw rektor malah pasti akan menyusahkan mahasiswa 1 jurusan.

Maka dari itu, perbaiki sikap pengajar agar diajar gak kurang ajar.
Quote:
Originally Posted by Alexa.N90 View Post
Biasa gan ane dulu jg gt, tapi jg perlu lihat situasi dan kondisi krn dosen/penguji di indonesia msh primodial. Saya sangat setuju mestinya riset yg kita lakukan kitalah yg lebih mengerti bukan dosen/penguji. Tidak jarang dosen/penguji pun bahkan tidak membaca thesis/desertasi kita ya dia hanya menanyakan apa yg kita paparkan saja. kenyataanya spt itu.

tapi apapun ujian thesis/desertasi itu hanya bagian kecil yg lebih penting adalah buah dari itu, harus terus berkarya yg bermanfaat bagi masyarakat itu lbh penting

ane pernah membimbing msh s1 dia membuat metoda baru dalam penenalan digital (kebetulan dosen di fakultas dia blum ada yg mendalami hal tsb) namun sama dosen di fakultas dia belajar malah jadi lelucon termasuk dekan disitu krn kebetulan desertasi dosen disitu yg dianggap paling pintar bahkan belum sampai tahap itu. Sampai saat ini pun fakultas tersebut belum jg menelorkan metoda2 baru meski kategori fakultas sains.

kecenderungan skg di banyak pendidikan tinggi msh saja spt tukang menerapkan apa yg sudah ganti2 sedikit. sebenarnya yg spt ini hanya level praktikum bukan tugas akhir/skripsi bahkan tesis pun tidak jarang demikian. pernah jg mendapati desertasi orangnya bahkan tidak paham dg apa yg dikerjakan semua dilakukan berdasarkan logika dia/serampangan.

Originally Posted by vikvampier
hal-hal seperti ini sangat membanggakan. sejujurnya, di negara ini, memperjuangkan hak seperti yang dilakukan si mahasiswi diatas sangat lah sulit dilakukan. Benar sperti TS bilang, skripsi, thesis, karya ilmiah, seharusnya si pembuatnya lah yang paling mengerti, baik dasar teori, tehnik pengujiannya, hingga hasilnya. maka dari itu, apabila pihak penguji, mau dia sekaliber profesor sekalipun, apabila tidak melandasi setiap ucapannya dalam persidangan dengan landasan teori yang memadai, tidak bisa dianggap lebih benar. tapi kita semua tau, tidak semua akademisi dalam dunia pendidikan di indonesia dapat bersikap demikian. apalagi orang-orang dengan titel lengkap, ditambah jabatan yang memadai. berat masssss. dalam kasus diatas, si mahasiswi juga beruntung karena orang-orang yang mengujinya dapat bersikap "fair", coba kalo kaek dikampus ane, susah maaaasss.. berdasarkan apa saya mengatakan demikian, berdasarkan pengalaman saya sendiri...

2 komentar:

  1. artikel baguss diq.... semoga kita nantinya juga bisa seperti itu waktu sidang TA, ga seperti sapi dicocok hidungnya... haha

    jangan lupa sertakan sumber diq dalam blogging ria :)

    BalasHapus

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Yuk Taaruf









Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Fisika ITS, sedang menggeluti Fiber Optik dan dunia pengembangan diri. Berusaha mengabdi dan memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

Blog ini adalah website pribadi Nur Abdillah Siddiq. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

Yuk Baca !

Yuk Baca !