Minggu, Juni 03, 2012

Aparat memilki kewajiban untuk "membantu"
Keparat dimana-mana ya bikin "susah"
Aparat memiliki "tanggung jawab dan integritas"
Keparat dimana-mana "lempar batu sembunyi tangan"
Ketika dari luar “APARAT” namun dari dalam “KEPARAT”
Aparat atau keparat?
Engkau yang lebih tahu jawabannya kawan.
Surabaya, 2 Juni 2012

Dolanan Team di Kejaksaan Negeri Malang

Jumat 1 Juni kemarin, aku bersama ketiga temanku berangkat ke Malang untuk menghadiri sidang. Sidang bagi para pelanggar yang melanggar kesucian rambu-rambu lalu lintas, ya sidang tilang. Mengapa kami sampai di tilang hingga di sidang, di Malang pula? Padahal kami adalah mahasiswa yang berdomisili di Surabaya, adalah karena 2 minggu yang lalu kami melanggar rambu lalu lintas. Melanggar lampu merah lebih tepatnya. Hingga akhirnya pak Polisi yang terhormat menyusul laju kendaraan kami dan menepikan kami. Tanpa basa-basi pak Polisi (yang saya belum sempat berkenalan dengannya sampai saat ini) berkata bahwa kami telah melanggar lampu merah, dan beliau menggiring kami menuju pos polisi terdekat. Sungguh peristiwa yang malang di kota Malang, kami yang pada waktu tersebut berada dalam kondisi suka cita, stress telah musnah karena kunjungan wisata dari kota wisata Batu, pulang ke Surabaya dengan semangat berkobar-kobar bak bahtera di lautan yang mengampar-ampar (dikutip dari pidato Sukarno), sontak kembali sedih, stress, ditilang, didenda, dan diminta untuk menghadiri sidang pada tanggal 1 Juni 2012 di pengadilan Malang.

Anehnya, pak Polisi hanya menilang 4 motor, dan 4 motor tersebut adalah kami satu tim dengan personil 7 orang yang menggunakan 4 motor. Kebetulan atau kesengajaan? Kata temanku, itu adalah hal yang sengaja, bahkan dia bertutur bahwa “gaya menyetir orang Malang dan orang Surabaya itu berbeda”, sehingga pak Polisi yang cerdas mampu membedakan mana orang Malang dan orang Surabaya. Aku cukup lama merenungi keabsahan dan kebenaran pernyataan temanku tersebut, apakah benar posisi tangan ketika menyetir dan posisi tubuh ketika duduk di sadel dapat menandakan dari kota mana pengendara tersebut berasal. Namun, aku tidak mampu untuk berfikir dan menganalisa hal tersebut. Harus dilakukan eksperimen, bukan hanya opini dan hipotesa, pikirku saat itu.

Sebenarnya, dari 4 motor yang ditilang, hanya 2 motor yang bersalah. Mengapa? Karena aku sendiri (pengendara motor dan korban sekaligus tersangka) melihat bahwa pada waktu itu, lampu lalu lintas menunjukkan warna orange dan aku melintas terus (perlu diketahui bahwa aku pernah menjalani tes buta warna dan aku LULUS, berkasnya masih tersimpan hingga saat ini, mataku normal tidak buta warna), dan teman yang didepanku tentu saja melintas karena lampunya masih hijau, baru kedua temanku yang dibelakang melintas pada saat lampu lalu lintasnya merah. Tetapi aneh, kami 1 tim ditilang. Beberapa pertanyaan berkecamuk, apakah karena plat kami bukan N (plat saya adalah M, dan M adalah huruf setelah N ! ), ataukah karena kami 1 tim, atau karena dan lain-lain?

Sempat melakukan negoisasi di pos polisi penilangan tersebut,ya iyalah kami adalah mahasiswa dengan duit ngepres dan tidak ingin biaya penilangan yang selangit. Aku berkata bahwa kami adalah mahasiswa yang pada tanggal 1 Juni ada aktivitas kuliah. Bahkan aku juga berkata bahwa kemungkinan ada UAS (ujian agak serius eh maksudnya ujian akhir semester). Namun gagal. Kami pun meminta jalan damai, maksudnya membayar sejumlah uang agar nanti tidak usah di sidang, sekali lagi tetap saja gagal.

Ada peristiwa unik yang dapat aku ceritakan, iseng-iseng temanku ada yang merekam proses penilangan melalui HP, malang di Kota Malang, pak Polisi tau bahwa ia sedang di shooting. Langsung saja, pak Polisi marah besar. Kalimat yang aku ingat dari pak polisi dan masih terngiang-ngiang adalah “KAMU PIKIR AKU BAJINGAN SAMPAI DIREKAM SEGALA”. Hahahaha, marilah kita tertawa bersama. Viva la Vida ! Aku kagum dengan Pak Polisi tersebut, ia bukanlah seperti orang kebanyakan, ia tidak narsis dan gira (gila kamera).

Hari H pun tiba, 1 Juni 2012. Di hari yang istimewa tersebut, aku sudah bersiap-siap (siap uang, siap mental, dan siap fisik), kami berkumpul jam 5 pagi di mesjid Manarul Ilmi untuk berangkat ke Malang. Ngeeeng, brrm, brrm, ciiiit. Karena pada waktu itu cuacanya agak dingin, jadi aku tidak mandi, dan itu adalah hal yang biasa bagi anak teknik sepertiku  (don’t try this at home) .
Setelah dua jam perjalanan Surabaya-Malang, akhirnya tiba juga kami di “Pengadilan Negeri Malang”. Di pengadilan tersebut, sudah penuh sesak dengan orang yang senasib dan seperjuangan (sama-sama ditilang). Di pengadilan tersebut, kami melihat penjara, ruang sidang dengan 3 orang hakim, 1palu tok-tok, dan tempat duduk tersangka. Saya pikir ada kasus pembunuhan atau penculikan ayam yang berakibat di penjara.

Pada saat melihat daftar STNK dan SIM yang ditilang, namaku ada sedang nama ketiga temanku yang lain tidak ada. “Bagaimana bisa? Padahal kita kan ditilangnya bareng-bareng”, celetuk temanku setelah putus asa namanya tidak ada di daftar tilang. Karena namaku ada, aku menyetorkan surat tilang ke “panitia” sidang. Selang beberapa menit, namaku di panggil. Ternyata ruangan sidang yang aku kira ada sidang penculikan ayam atau pembunuhan, adalah ruangan sidang untuk para tilangers. Ini adalah pengalaman pertamaku masuk ruang sidang. Tempat duduk panjang, 3 orang hakim, 1 palu tok-tok, dan MEJA HIJAU. Aku pun masuk dengan sedikit grogi, takut kalau bukannya hanya di denda saja namun dipenjara!

Ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan, hakim membacakan namaku. “Nur Abdillah Siddiq, melanggar lampu lalu lintas, denda 50 ribu, dan seribu untuk administrasi”, begitu kira-kira kalimat yang aku ingat dari hakim perempuan tersebut. Palu pun diketok, perkara pun rampung, hatiku lega. Aku menuju loket dan membayar uang sebesar 51.000 rupiah.

Namun malang di kota Malang, nasib ketiga temanku menjadi tidak jelas karena namanya tidak ada di daftar tilang. Akhirnya kami menemui pak Polisi lain yang berada di parkiran, dan bercerita tentang masalah yang kami hadapi. Beliau menghendaki kami untuk pergi ke Kapolres Malang di Jl. Dr. Cipto.

Sesampainya di Kapolres Malang, kami kembali dilempar kembali ke Kejaksaaan Negeri Malang. Jadi track yang kami tempuh adalah “Pengadilan-Kapolres-Kejaksaan”. (Sempat mengeluh juga, emang kami bola Volly yang mudah dilempar kesana kesini). Kata pak Polisi di Kapolres, ketiga temanku tadi sidangnya sudah minggu lalu. Luar biasa, relativitas tidak hanya terjadi di Fisika, namun terjadi juga di Hukum, bahkan asas ketidakpastian Heissenberg sangat besar di bidang ini. Di surat tilang, sudah jelas-jelas tertulis sidang tanggal 1 Juni 2012. Lengkap dengan tanda tangan pak Polisi yang menilang kami, tetapi katanya sidang ketiga temanku tersebut sudah minggu lalu 26 Mei 2012 (Bertepatan dengan MTD).

Perjalanan tidak semudah seperti kelihatannya, sesampainya di Kejaksaan, kata seorang yang ada disana, bagian dari kejaksaan yang berhubungan dengan tilang menilang sedang tutup karena pegawainya sedang menjadi “panitia” sidang di pengadilan. Kembali teringat kalimat mawapres yakni Mas Dhanar, “ingat birokrasi adalah mitra bukanlah musuh”. Kamipun bersabar menunggu kantornya terbuka hingga 2 jam lamanya.

Begitu kantornya buka, surat tilang teman-temanku di proses. “Ini dikenakan denda sebesar 90ribu dan biaya administrasi seribu rupiah, jadi totalnya 91ribu rupiah”, kata petugas kejaksaan. What the ****. Mengapa denda yang aku bayar tidak sama dengan yang ketiga temanku bayarkan, aku bayar 51ribu sedangkan teman-temanku bayar 91ribu, pelanggarannya persis, namun dendanya berbeda. Temanku jelas tidak terima terhadap perlakuan adanya ketidak-adilan ini. Kami berasumsi bahwa lebih mahalnya biaya denda disebabkan oleh sidang yang sebenarnya telah minggu lalu tapi baru diambil pada saat itu. “Lho pak, di surat Tilang tertulis sidangnya tanggal 1 Juni 2012”, kata temanku. “Bapak maksudnya mau menyalahkan kejaksaan? Kami menerima dari polisi, kalau mau menyalahan silahkan temui polisi yang menilang bapak, kami tidak bertanggung jawab terhadap masalah ini, kami hanya menjalankan prosedur”, kata petugas kejaksaaan. Pikirku saat itu, bagaimana bisa coba menemui polisi kemudian menyalahkannya, lagipula kami harus melacak terlebih dahulu polisi yang sedang menilang kami ada dimana, dan iya kalau tidak menambah masalah, susahnya dapat memperumit keadaan. Nasi telah menjadi bubur, jadi mending ditambah kacang, irisan ayam, kecap, bawang dan kuah dan jadilah bubur ayam yang lebih enak dari sekadar nasi tanpa lauk. Akhirnya aku pun membesarkan hati ketiga temanku untuk merelakan hal tersebut.

Hikmah yang aku petik dari pengalaman tersebut adalah “jangan sekali-kali melanggar peraturan lalu lintas”. Melalui peristiwa tersebut yakni bernasib malang di kota Malang, aku jadi tahu pengadilan, ruang sidang, meja hijau, suasana di ruang sidang, hakim, palu tok-tok, dan kejaksaan. Aku menyaksikan langsung dan terlibat secara langsung dalam proses sidang, sebelumnya hanya sebatas membaca berita dan menonton televisi. Benar-benar pengalaman yang tidak akan terlupakan. Next trip aku ingin berpetualang di kota Mujur, agar dapat mujur di kota Mujur.

0 Reactions:

Posting Komentar

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Yuk Taaruf









Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Fisika ITS, sedang menggeluti Fiber Optik dan dunia pengembangan diri. Berusaha mengabdi dan memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

Blog ini adalah website pribadi Nur Abdillah Siddiq. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

Yuk Baca !

Yuk Baca !