Rabu, Juni 15, 2011




Sekitar tahun 1930an, para ilmuan berhasil menghitung suhu korona matahari yang ternyata sekitar satu juta derajat Celsius lewat caranya berada di antariksa (seperti terlihat saat gerhana matahari total). Selanjutnya penelitian spektroskopis membenarkan suhu luar biasa ini.


Pada pertengahan 1950an, matematikawan Inggris, Sydney Chapman, menghitung sifat gas yang berada pada suhu demikian dan menemukan kalau ia merupakan konduktor panas yang sangat baik dan mestinya melebar jauh melebihi orbit Bumi. Juga ditahun 1950an, ilmuan Jerman bernama Ludwig Biermann menjadi tertarik dengan fakta kalau tidak peduli apakah komet menuju atau menjauhi matahari, ekornya selalu menjauhi matahari. Biermann mengajukan kalau ini terjadi karena Matahari memancarkan aliran partikel secara tetap yang mendorong ekor komet menjauh. Wilfried Schroeder mengklaim dalam bukunya, Who First Discovered the Solar Wind?, kalau astronom Jerman, Paul Ahnert adalah yang pertama menghubungkan angin surya dengan arah ekor komet berdasarkan pengamatan komet Whipple-Fedke (1942g).

Pada akhir 1990an, instrumen Ultraviolet Coronal Spectrometer (UVCS) di pesawat antariksa SOHO mengamati daerah percepatan angin surya cepat yang memancar dari kutub-kutub matahari, dan menemukan kalau angin dipercepat jauh lebih laju daripada akibat ekspansi termodinamika semata. Model Parker meramalkan kalau anginnya harus membuat transisi menuju aliran supersonik pada ketinggian sekitar 4 radius matahari dari fotosfer; namun transisi (atau titik sonik) sekarang tampak jauh lebih rendah, mungkin hanya 1 radius matahari di atas fotosfer, menyarankan kalau beberapa mekanisme tambahan mempercepat angin surya menjauh dari matahari.

Both the universe

Komponen yang besar dari angin surya adalah ejeksi massa korona (CME). CME merupakan pelontaran massa korona dalam waktu tertentu dan meningkatkan intensitas angin surya. Ketika CME menghantam magnetosfer Bumi, ia secara sementara mengubah bentuk medan magnet Bumi, mengubah arah jarum kompas, dan menginduksi arus ground listrik yang besar di Bumi itu sendiri; yang disebut badai geomagnetik dan merupakan fenomena global. Hantaman CME dapat menginduksi rekoneksi magnetik dalam ekor magnet Bumi (sisi tengah malam magnetosfer); ia melontarkan proton dan elektron turun ke atmosfer Bumi, dan membentuk aurora.

Merkurius, planet terdekat dengan Matahari, mendapatkan angin surya dalam jumlah penuh, dan atmosfernya punah dan transient, sehingga permukaannya bermandikan radiasi.

Angin surya menghembuskan gelembung-gelembung dalam medium antar bintang (daerah yang mengandung gas hidrogen dan helium yang langka yang mengisi galaksi). Titik dimana kekuatan angin surya tidak lagi cukup untuk mendorong medium antar bintang disebut heliopause, dan sering dipandang sebagai perbatasan terluar Tata Surya. Jarak ke heliopause tidak diketahui dengan pasti, dan mungkin beragam tergantung pada kecepatan angin surya dan kepadatan lokal medium antar bintang, namun diketahui kalau ia berada jauh di luar orbit Pluto. Para ilmuan berharap memperoleh lebih banyak pengetahuan heliopause dari data yang diperoleh lewat misi Interstellar Boundary Explorer (IBEX) yang diluncurkan bulan Oktober 2008.

0 Reactions:

Posting Komentar

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Yuk Taaruf









Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Fisika ITS, sedang menggeluti Fiber Optik dan dunia pengembangan diri. Berusaha mengabdi dan memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

Blog ini adalah website pribadi Nur Abdillah Siddiq. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

Yuk Baca !

Yuk Baca !