Jumat, Agustus 03, 2012

Mawar adalah lambang cinta


“Laa fatan illa ‘Aliyyan”

Kalimat tersebut adalah jargon pemuda Arab yang memiliki arti “Tak ada pemuda kecuali Ali”. Apa yang dilakukan oleh seorang Ali sehingga ia dijadikan yel-yel oleh pemuda Arab? Tak lain adalah pengetahuannya tentang hakikat cinta dan kegigihan cintanya kepada putri Rasulullah SAW.

Cinta adalah hal fitrah yang dimiliki oleh setiap orang. Islam pun mengakui adanya rasa cinta yang bersemayam di dalam dada keturunan Adam. Ketika seseorang jatuh cinta, maka hal itu adalah Anugerah dari Allah SWT. Termasuk rasa cinta kepada lawan jenis, dan lain-lainnya. Allah berfirman dalam Al-Quran, “Dijadikan indah pada manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran : 14).

Jadi, jatuh cinta kepada lawan jenis tidaklah dilarang dalam agama Islam. Tetapi yang harus digarisbawahi adalah Bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan cinta yang mengendalikan diri kita, tetapi diri kita yang mengendalikan cinta. Ini penting, mengingat pemuda zaman sekarang begitu mudahnya dikendalikan oleh cinta.
Tidak demikian hal nya dengan Ali, ia mampu membingkai perasaannya dan bertanggung jawab atas perasaan tersebut. Kekagumannya pada putri Rasulullah mampu membuahkan rasa cinta dalam hatinya. Bagaimana tidak, putri tersayang dari Rasulullah yang adalah sepupunya itu , sungguh mempesonanya. Ibadahnya, kesantunannya, kecekatan kerjanya, keberaniannya, dan parasnya. Lihatlah gadis itu, pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta, Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ia bakar perca, kemudian ia tempelkan ke luka untuk menghentikan aliran darah pada luka ayahnya. Semuanya dilakukan dengan hati menangis dan mata gerimis. “Muhammad Rasulullah tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!”, cetus Fatimah setelah membersihkan luka ayahnya. Maka gadis itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju ka’bah, tak ada yang bisa menghentikan langkahnya meskipun ia seorang perempuan. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa  hingga keluar air matanya membanggakan tindakannya pada Rasulullah, mendadak dicekam diam. Fatimah, seorang perempuan, menghardik mereka, pimpinan dan memuka Quraisy. Seolah-olah waktu terhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

Dalam kekaguman Ali kepada Fatimah, Ali sempat tersentak mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Rasulullah. Lelaki yang sangat totalitas, membela Islam dengan jiwa dan harta sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak lagi diragukan, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

“Allah mengujiku rupanya”, begitu suara batin Ali berkata. Ia merasa diuji karena merasa tak ada apa-apanya jika disandingkan dan disejajarkan dengan Abu Bakar. Kedudukan disamping Nabi? Abu Bakar lebih utama, keimanan dan pembelaan Abu Bakar pada Allah dan Rasulnya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Rasulullah dalam hijrah, bagaimana Abu Bakar berdakwah sehingga betapa banyak tokoh, pemuka, saudagar dan bangsawan Makkah yang memeluk Islam karena sentuhannya, bagaimana Abu Bakar membebaskan budak seperti Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, dan Abdullah ibn Mas’ud. Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insyaAllah bisa membahagiakan Fatimah. Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali disaat hatinya sedang bergejolak. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku”.

Jodoh memang sepenuhnya ditangan Sang Khaliq, Allah SWT. Meskipun menurut kita seakan-akan tak ada harapan, tetapi Allah menjawab doa manusia yang berikhtiar dan bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya. Beberapa waktu berselang, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harapan di hatinya yang sempat layu, lamaran Abu Bakar ditolak.
Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ternyata ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fatimah seorang laki-laki yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat  kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat setan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut, yakni Umar ibn Al Khattab. Al-Faruq (julukan untuk Umar), sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fatimah. Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakar, Tapi saiapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang meragukan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan keberaniannya dalam membela Islam? Dan lebih dari itu, Ali mendengar sendiri betapa seringnya Rasulullah berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar.” Betapa tinggi kedudukan Umar disisi Rasulullah, disisi ayah Fatimah.

Pada saat Umar hijrah, “Wahai Quraisy”, kata Umar, “Hari ini putra Al-Khattab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silahkan hadang Umar dibalik bukit ini!” . Umar adalah lelaki pemberani. Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, ia belum siap menikah. Apalagi menikahi Fatimah binti Rasulullah. Umar jauh lebih baik dan Ali ridha.

Maka Ali kembali bingung ketika kabar itu sampai ditelinganya. Lamaran Umar juga ditolak. Menantu macam apa yang kiranya dikehendaki Rasulullah? Yang seperti Utsman sang milyader kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul Ash kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulullah? Dua menantu Rasulullah itu sungguh membuat Ali kehilangan kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya Abdurrahman ibn Auf ang setara dengan mereka. Atau justru Rasulullah ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mempererat kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn Ubadah pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu? Muncul begitu banyak pertanyaan dalam lamunan Ali.

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.  “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi”, ucap temannya dengan yakin. “Aku?”, tanya Ali tak yakin. “Ya, engkau wahai saudaraku!”, balas teman Ali. “Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” Ali semakin sangsi. “Kami dibelakangmu kawan, semoga Allah menolongmu!”, teman Ali memberi dukungan dan harapan.

Ali pun menghadap Rasulullah. Maka dengan memberanikan diri, disampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah. Ya, menikahi, menempatkan Fatimah sebagai seseorang yang selalu didekatnya hingga Ali wafat. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi disana ditambah gumpalan tepung kasar untuk makannya. Tetapi jika ia meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap sampai dirinya mapan,  Itu memalukan! Meminta Fatimah menantikannya dibatas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. “Engkau pemuda sejati wahai Ali”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggung jawab atas rasa cintanya.Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah maha kaya.

Lamarannya berjawab, “Ahlan wa Sahlan!”. Kata itu muncul tenang bersama senyum Rasulullah. Dan Ali pun bingung apa maksudnya. Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Rasulullah bingung untuk menjawab. Ah, mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menangung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati bak bahtera dilautan yang mengampar-ampar. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Rasulullah kawan? Bagaimana lamaranmu?”, tanya sahabat Ali. “Entahlah..” Ucap Ali ragu. Sahabatnya langsung menimpalinya, “Apa maksudmu?”. “Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan berarti sebuah jawaban?”, Ali bertanya dengan raut muka penasaran. Cinta tak jarang membuat orang nampak tolol. Sahabat Ali menjawab, “Tentu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berati ‘ya’, sahlan juga, dan kau mendapat Ahlan wa Sahlan kawan, dua-duanya berarti ‘ya’”. Dan Ali pun menikahi fatimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang pada awalnya ingin disumbangkan kawan-kawannya tetapi Rasulullah bersikeras agar Ali membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu bakar dan Umar dalam melamar Fatimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan janji-janji dan penantian kosong. Ali adalah gentleman sejati, ia telah menemukan hakikat cintanya pada fatimah putri Rasulullah. Sehingga tidak heran jika pemuda Arab meiliki yel, “Laa Fatan Illa Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali”.

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali. Ia mempersilahkan atau mengambil kesempatan. Yang pertama (mempersilahkan) adalah pengorbanan, yang kedua (menagmbil kesempatan) adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang pula apa yang dilakukan oleh putri Rasulullah, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah mereka menikah, Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali  merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”. Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku?” dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fatimah berkata, “Ya karena pemuda itu adalah dirimu”. Subhanallah, ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.

Cinta Tak Pernah Meminta Untuk Menanti

Untukmu saudaraku
Sudah saatnya engkau malu pada Illahmu..
Tentang rasa cinta yang tak halal untuk dirasa
Tentang angan yang tak pantas dibayangkan
Karena semua itu sebuah pengkhianatan
Pengkhianatan pada-Nya, pada ketetapan-Nya mengenai pasanganmu kelak
Dan juga pada seseorang yang kini sedang menjaga hatinya untukmu
Ketahuilah disana ada insan yang setia menundukkan pandangannya
Yang menghijabi hatinya
Yang menunggu dengan mengisi harinya penuh dengan doa terbaik untukmu
Ia yang tak pernah ingin mengenalmu sebelum halal atasmu
Karena dengan itu ia menjagamu
Maka dengarkan saudaraku
Tak inginkah kau menghargainya?
Dengan berbuat seperti apa yang ia perbuat untukmu?
Yaitu menundukkan hati dan menjaga pandangan

Nur Abdillah Siddiq, Teknik Fisika ITS 2011
-Staff Media-Isu dan Jurnalistik Jamaah Mesjid Manarul Ilmi
-Staff Humed Lembaga Dakwah Jurusan Fusi Ulul Albab
-Staff Humas Kopma “Dr.Angka” ITS
-Staff Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Teknik Fisika
-Pemilik www.Alchemyst.co.cc

Sumber : Manazine edisi 1 Februari 2010 dan Al-Quranul Karim

0 Reactions:

Posting Komentar

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Yuk Taaruf









Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Fisika ITS, sedang menggeluti Fiber Optik dan dunia pengembangan diri. Berusaha mengabdi dan memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

Blog ini adalah website pribadi Nur Abdillah Siddiq. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

Yuk Baca !

Yuk Baca !