Senin, November 21, 2016

Ditulis oleh Komunitas Intelektual Sumenep menyikapi perkembangan di sumenep dan Madura
Peta Kabupaten Sumenep beserta potensi wisatanya

1. Pengantar
Madura adalah pulau yang terletak di sebelah timur laut Surabaya yang memunyai luas 4500 km2 dengan panjang 180 km dan lebar 40 km. Dibandingkan pulau Jawa pulau ini sangat kecil. Setidaknya ada empat Kabupaten di pulau tersebut di antaranya adalah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Sumenep merupakan Kabupaten tertimur di pulau tersebut yang memunyai pulau sebanyak 126 dengan 48 pulau berpenghuni. Sebagai kabupaten, Sumenep ternyata memunyai keistimewaan sebagai kota destinasi wisata baik yang di daratan atau pun di kepulauan. Hal ini terbukti bahwa dalam perencanaan saat pembangunan suramadu Sumenep ditarget sebagai kota wisata di Madura[  Muthmainnah, Jembatan Suramadu, LKPSM, 1998.].

Dalam perkembangannya, sumenep telah berhasil memikat hati penguasa baik di tingkat kabupaten, provinsi atau pun pusat. Hal itu ditandai dengan ditemukannya daerah oksigen tertinggi kedua dunia oleh tim LAPAN pada tahun 2012. Maka, dengan segera angin segar itu ditangkap oleh pemerintah dengan memerintahkan BPWS segera membentuk tim pembuat masterplan daerah wisata tersebut dengan tema wisata kesehatan. Lalu, kepercayaan akan daya tarik wisata kembali dikokohkan dengan semakin populernya pulau kecil Gili Labak yang sejak dulu tidak seorang pun memberi perhatian, bahkan, penduduknya yang hanya puluhan kepala keluarga itu tidak bisa menikmati pendidikan secara maksimal. Sejak saat itulah Sumenep terkenal dengan segi tiga wisata yang meliputi Lombang, Gili Iyang dan Gili Labak.

Untuk mengembangkan dan memajukan wisata yang telah berada di depan mata, dibutuhkan dana yang tidak tanggung. Betapa pun, infrastruktur yang kurang memadai harus segera dibenahi baik jalan akses, penginapan pun destinasi wisata tersebut. Maka, sangat wajar jika pada akhirnya Sumenep harus menggandeng investor menanamkan modalnya. Berdasarkan hitung-hitungan tersebut pemerintah daerah terus menggenjot usaha memikat hati investor baik lokal pun internasional. Apa lagi hal ini senada dengan prinsip pemerintah pusat.

Hal ini dimaksudkan selain meningkatkan pemasukan pada kas daerah (PAD) juga perkembangan ekonomi rakyat sebagaimana menjadi cita-cita pemerintah daerah. Namun, masuknya investor yang begitu cepat bukan tanpa resiko. Mereka yang masuk dengan hitung-hitungan untung rugi akan berhitung sedemikian rupa. Dalam konsep investor masalah masyarakat dan lingkungan adalah urusan belakangan. Maka, resiko yang paling dikhawatirkan adalah eksploitas besar-besaran. Selain itu, masuknya orang asing baik itu investor pun wisatawan akan membawa dampak sosial-budaya tersendiri yang, jika tidak diantisipasi sebelumnya, akan sangat merugikan masyarakat pun Madura
pada umumnya.
 
2. Investor dan Tanah
Hal yang sangat menarik untuk didiskusikan di Madura khususnya Sumenep adalah maraknya penjualan tanah kepada investor asing (China dan Jepang). Pada awalnya hanyalah ketidakmengertian. Tiba-tiba saja hadir orang-orang yang tidak dikenal dengan berbagai bentuknya yang ujung-ujungnya membeli sebidang tanah di pegunungan dengan dalih mendirikan rumah dan mosollah. Sepintas peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan pembelian tanah yang akhir-akhir ini marak di Sumenep pun destinasi wisata yang direncakan. Namun jika mau sediki berpikir dan merenung ada benang merah yang dapat ditarik.

Setidaknya, sejak tahun 1990-an Madura sudah menjadi incaran sebagai kota metropolitan yang terhubung dengan Surabaya yang dikenal dengan Gerbang Kertosusilo[ Koentowijoyo, Madura Dijual dalam Radikalisme Petani, Bentang: 1994.]. Maka, tidak heran jika ada keyakinan bahwa investor sudah mulai melirik Madura sejak saat itu. Hanya saja, sebagai masyarakat petani yang awam tidak seorang pun menyadarinya. Maka kedatangan mereka dalam bentuk apa pun bisa saja terjadi. Mungkin saja peneliti, akademisi, tamu yang hanya menghabiskan waktu, bahkan seorang nyeleneh yang membangun rumah di atas bukit.

Dari sanalah mereka mendapatkan pandangan menyeluruh tentang terget yang hendak diterkam. Maka segala rencana disusun dengan matang dan berbagai pendekatan juga dipersiapkan. Maka, kita yang baru tersadar akan adanya ancaman sangant kesulitan mengejar mereka yang sudah memersiapkannya dengan matang. Akibatnya, seperti yang bisa dilihat sekarang. Tanah-tanah dengan begitu mudah dilepaskan meski dengan harga yang terkesan begitu ditekan[ Kisaran harga antara 10000/m sampai 25000/m (Radar Madura, 21 Oktober 2016)]. Sampai saat ini perkiraan tanah yang telah terjual adalah 500 ha dari 1000 ha yang ditargetkan[ Data BATAN yang diperoleh dari tim investigasi Majalah Fajar.].

Lalu kenapa harus tanah? Kenapa investor itu tidak langsung menginvestasikan modalnya untuk destinasi wisata yang dicanangkan? Jawabnya sudah jelas. Mereka selalu berhitung untung rugi. Sekali melangkah semua arah dan kemungkinan harus dikuasai. Maka, menguasai tanah adalah cara pertama untuk merebut hegemoni. Dengan menguasai tanah sebagai moda produksi maka sudah bisa dipastikan mereka akan menjadi tuan yang bisa melakukan apa pun demi sebuah keuntungan. Tambak udang yang saat ini sedang marak dibangun diyakini hanya sasaran antara. Bagaimana pun masa subur lahan tambak hanya berkisar 10 tahun, selebihnya sudah tidak produktif lagi. Jika hanya ingin membuat tambak, mereka tidak harus susah-susah membelinya. Menyewanya akan lebih murah dan setelah selesai mereka tinggal pindah dan kembali menyewa.

Atas dasar tesis di atas setidaknya kita patut menaruh curiga terhadap peristiwa ini. Menurut pemerhati lingkungan kemungkinan besar tanah yang telah dimiliki investor asing itu pada akhirnya akan ditransformasikan pada bangunan-bangunan yang mendukung terhadap tersedianya infrastruktur yang aman dan nyaman bagi setiap wistawan yang hendak berkunjung ke tiga tempat wisata yang berdekatan tersebut. Bagunan itu bisa berupa hotel berbintang, cottage, villa dan sejenisnya.
Kecurigaan kedua adalah kenyatan bahwa Madura adalah pulau kecil dan gersang yang di dalam perut buminya terkandung berlimpah kekayaan baik berupa migas, karst pun berlian. Di antara ketiga kekayaan tersebut yang paling menonjol adalah minyak bumi. Setidaknya hingga kini Madura merupakan penyumbang minyak bumi terbesar di Jawa Timur.

Dengan terjualnya tanah kepada pihak investor secara umum merupakan pertanda bahwa cengkeraman kapitalis global mulai menancapkan taringnya di Madura. Masuknya mereka tidak serta-merta tanpa efek domino. Mereka juga telah memersiapkan jebakan-jebakan jitu untuk menarik masyarakat lokal dalam pusaranya yang penuh kelicikan[ Semacam simulakra dalam istilahnya Baudrillard.]. Target paling penting adalah anak muda. Mereka akan dijauhkan dengan lokalitasnya dan ketika mereka sudah terasing maka semuanya sudah berada dalam genggaman dan Madura segera menuju kematiannya.

3. Tanah dan Sebuah PerubahanPada awalnya, bagi manusia Madura tanah adalah kekayaan yang sebenarnya karena dengan tanahlah mereka bisa bertahan dan mengembangkan kualitas hidupnya. Ini bukanlah sekadar peristiwa ekonomi, namun juga meliputi sosial relegius. Tanah tidak hanya membuat seseorang bertahan hidup secara fisik, namun juga spiritual (Bambang, 2003; Wiyata, 2013).

Sebagai sebuah kekayaan, tanah tidak sekadar benda mati yang diolah. Ia adalah sebuah peristiwa yang menyambungkan manusia Madura dengan asalnya. Merawat tanah tidak hanya bermakna ekologis, namun merupakan pengakuan bahwa dia mempunyai nenek moyang yang sampai saat kapan pun akan tetap ada bersama mereka meski di alam berbeda.

Sebagai penganut agama Islam yang taat (Rifaie, 2007; Syamsul Ma’arif, 2015) dan mayoritas NU, manusia Madura meyakini bahwa nenek moyang yang sudah meninggal dunia tidak serta-merta menghilang begitu saja. Mereka masih ada namun di alam yang berbeda. Bagi mereka seorang yang meninggal hanyalah pindah tempat dari dunia fisik ke ruh. Meski tidak bisa leluasa berbuat seperti saat masih berada di dunia, mereka diyakini berada begitu dekat dengan Tuhan. Jadi, satu-satunya kekuatan ruh nenek moyang adalah doa yang sangat mustajab. Untuk mendapatkan restu dan doa baiknya, manusia Madura harus tetap menampakkan pengabdian pada leluhurnya dengan menjalankan wasiat dan merawat tanah peninggalannya. Bagi yang tidak mengindahkan hal tersebut mereka akan ecapo’ tola (kena kualat).

Untuk tetap menjaga keyakinannya dan menambah nilai sakralitas tanah sangkol (warisan) biasanya mereka mengubur jenazah nenek moyangnya di tanahnya sendiri sehingga akan merasa semakin dekat dengan ruh leluhur. Pada akhirnya, tanah yang mereka miliki diyakini sebagai jiwa leluhur yang masih hidup dan selalu mengawasinya. Tidak ada alasan untuk menjual tanah pada orang luar, karena hal itu adalah aib. Menjual tanah sangkol sama dengan menjual rumah (Bambang, 2003). Jika seseorang tidak mempunyai rumah sebagai tempat berlindung dia akan menjadi gelandangan. Tidak ada kebebasan yang dimiliki. Hanya seonggok daging hidup yang terus berpindah dari tempat satu ke tempat lain. Sudah bisa dipastikan tidak ada peradaban yang akan ditinggalkan untuk anak cucunya. Bahkan, kehadirannya tidak akan pernah diperhitungkan oleh siapa pun. Kalau terpaksa, maka tanah yang dimiliki harus dijual pada saudara sendiri.

Seorang yang menjual tanahnya pada orang luar juga diyakini tidak akan hidup dengan tenang. Selain dianggap menjual rumah, menjual tanah juga akan dinggap mengabaikan nenek moyang. Dalam tatakrama masyarakat Madura pengabaian terhadap leluhur disebut cangkolang. Perbuatan ini dianggap tabu karena bisa merusak struktur tatanan yang sudah terbentuk begitu lama dan rapi.
Penjualan tanah besar-besaran yang terjadi di Madura saat ini merupakan suatu peristiwa besar perombakan tatanan kebudayaan masyarakat yang sudah disetting sedemikian rupa oleh sistim kapitalis global. Kepemilikan materi berlimpah yang menjadi tujuan utama dibanding dengan ketersambungan dengan leluhur merupakan awal yang akan merubah wajah manusia Madura ke depan. Mungkin, lima atau sepuluh tahun lagi Madura tidak akan kita temukan kecuali serpihan sejarah yang tercecer di rak buku perpustakaan dan toko loak di pasaran dengan embel-embel terbelakang dan selebihnya hanyalah pulau penuh mesin dan anak cucunya yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.

4. Kasus-Kasus yang Berkembang
Setelah ratusan hektar tanah terjual yang meliputi Kecamatan Dasuk, Batang-Batang, Dungkek, Gapura, Bluto dan Talango sedikit demi sedikit kekhawatiran yang sempat muncul terbukti. Setidaknya investor asing yang sudah mulai menguasai kawasan terdampak mulai berwajah arogan. setidaknya lima dari enam kecamatan sudah mulai resah dan sebagian masyarakat bahkan yang dulunya masuk dalam jaringan makelar menyadarinya dan segera berubah haluan.


Menurut kabar, investor yang awalnya berjanji akan memekerjakan tenaga lokal ternyata tidak terbukti. Hal ini terjadi di Kerta Timur Kecamatan Dasuk. Dari 27 oranng pekerja hanya 5 orang yang diambil dari tenaga lokal. Selebihnya adalah pekerja yang datang dari luar baik masih di lingkungan Madura pun luar Madura. Hal ini juga terjadi di tempat yang berbeda meski jumlahnya variatif. Yang lebih menarik, tanah yang pada awalnya adalah lahan untuk bertani dan tidak ada aturan yang beraneka ragam menggelayutinya, saat ia beralih kepemilikan tanah tersebut berubah 180 drajat. Semua sudut tanah dikelilingi pagar beton dengan ketinggian 2 sampai 3 meter. Hanya ada satu jalan akses yang kemudian dijaga oleh blater sebagai penjamin keamanan.

Di satu sisi pagar yang begitu tinggi dan permanen itu mengisyaratkan suatu perlindungan dan keprivatan, namun di sisi yang berbeda ia mengandaikan bahwa masyarakat sekitar adalah makhluk yang perlu diawasi dan diwaspadai. Mereka menganggap masyarakat adalah ancaman yang tidak mendukung malah merintangi. Tidak heran jika kemudian mereka bersikap acuh tak acuh pada masyarakat, bahkan lebih arogan.

Kasus tentang tanah juga berkembang di Lapa Daja Kecamatan Dungkek. Mereka yang pada awalnya masuk dengan menggunakan jasa ulama lokal dan janji manis yang menggiurkan ternyata telah bertindak sewenang-wenang. Peristiwa itu baru disadari ketika terdapat lokasi pemakaman tua yang digusur oleh investor dengan alasan sudah dibeli. Bahkan, polemik yang berkembang tidak hanya berkisar pada investor dan masyarakat, namun juga terjadi ketegangan antar ulama yang pro dan kontra. Pada akhirnya, ketegangan itu berubah, musuh yang dihadapi tidak lagi investor yang sama sekali asing, namun saudara sedesa yang selama ini sangat akur bahkan guyub. Maka, jika ini dibiarkan berlarut-larut, investor-investor asing itu akan menjadi semkain leluasa sementara mereka yang mungkin masih sesaudara di desa akan pecah bela dan hancur berantakan.

Kasus di Andulang yang akhir-akhir ini mencuat dan sedang dilakukan mediasi oleh DPRD komisi2 sekaligus Kapolres Sumenep adalah pengakuan dua orang  perempuan yang merasa terintimedasi karena dibangunnya tambak udang milik CV. Madura Marina Lestari. Kedua perempuan itu mengaku memiliki sawah produktif seluas 1450m yang saat ini berada di tengah areal tambak yang sudah dikelilingi oleh dinding beton. Suasananya sangat berbeda karena saat ini kedua perempuan yang hanya bergantung hidup dari hasil bertani tersebut tidak memiliki akses masuk leluasa ke sawahnya. Mereka harus melalui pintu masuk yang dijaga ketat karena hanya itulah satu-satunya akses yang ada.
Maka, bisa dibayangkan kondisi psikologis dua perempaun tersebut. Selain merasa risih, takut akan intimedasi juga tidak leluasa ketika harus bekerja di tanahnya sendiri. Meskipun dalam kondisi terjepit dan sering juga didatangi beberapa orang tidak dikenal dalam rangka merayu mereka, mereka masih bersikukuh. Selain kondisi psikologis yang ditimbulkan, dampak lingkungan otomatis juga mengganggu. Paling tidak, menurut laporan sidak DPRD komisi2, tanah-tanah yang mereka miliki memenyuai potensi terdampak polusi limbah.

Kasus berikutnya terjadi di Talango di Desa Kombang. Tanah-tanah yang telah dibeli investor pada kenyataannya masih belum berizin untuk dibangun tambak udang, namun, kenyataan di lapangan mereka sudah mulai mengerjakan pembuatan tambak tersebut. Terlepas dari siapa yang membekengenya, namun kejadian ini perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan baik pemerintah, masyarakat atau elemen-elemen yang lain.

Kasus-kasus ini hanya sebagian yang sempat terungkap ke permukaan. Tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus yang lebih parah yang masih tidak terungkap atau sengaja dibungkam dengan berbagai cara. Mereka adalah pemodal yang hanya berhitung untung rugi apa pun yang harus mereka lakukan, bahkan untuk menumpahkan darah itu bukan hal yang mustahil. Selanjutnya, butuh kinerja cepat dan tanggap.
Referensi:
  •  Muthmainnah, Jembatan Suramadu, LKPSM, 1998.
  •  Koentowijoyo, Madura Dijual dalam Radikalisme Petani, Bentang: 1994.
  •  Kisaran harga antara 10.000/m sampai 25.000/m (Radar Madura, 21 Oktober 2016)
  •  Data BATAN yang diperoleh dari tim investigasi Majalah Fajar




Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Teknik Fisika ITS, sedang menggeluti NanoTeknologi dan dunia pengembangan diri.Memiliki misi besar untuk menjadi insan yang memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

1 komentar:

  1. Ayo segera bergabung bersama S128Cash !!
    Bandar Betting Online Terbesar dan Terpopuler dengan pelayanan PROFESIONAL siap memberikan Kenyamanan dan Kepuasan yang sesungguhnya.
    Dengan minimal Deposit & Withdraw hanya Rp 25.000,- Anda sudah bisa menikmati semua permainan yang tersedia dan mendapatkan berbagai PROMO BONUS Menarik S128Cash.
    Berikut permainan yang tersedia :
    - Sportsbook
    - Live Casino
    - Sabung Ayam Online
    - IDN Poker
    - Slot Games Online
    - Tembak Ikan Online
    - Klik4D

    PROMO BONUS S128Cash :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Untuk layanan dan informasi lebih lanjut, bisa hubungi kami melalui :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Judi Bola Online

    BalasHapus

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Yuk Taaruf









Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Fisika ITS, sedang menggeluti Fiber Optik dan dunia pengembangan diri. Berusaha mengabdi dan memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

Blog ini adalah website pribadi Nur Abdillah Siddiq. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

Yuk Baca !

Yuk Baca !