1. Dzakaun (kecerdasan)
Kecerdasan merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi oleh thalibul ilmi. Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa orang yang pintar adalah orang yang mengetahui bahwa ia tidak tahu akan sesuatu dan karenanya dia mau belajar.
Ilmu itu sangat luas sekali dan ia tidak memiliki akhir. Imam Ibnu Jarir At Thobary ulama terkenal yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik itu tafsir, hadits, tarikh, fiqh, Qiroat, ilmu lughah, ilmu filsafat, mantiq, dll, ketika ingin menulis tarikh (sejarah) ia berkata kepada sahabat-sahabatnya :” saya ingin menulis tarikh sejak Adam sampai sekarang”. Mereka bertanya :”berapa naskah (waroqoh)?”. Beliau menjawab:”30000”. Mereka berkata:” umur tidak akan cukup untuk itu”. Akhirnya beliau hanya menulis buku tarikh tersebut sebanyak 3000 naskah. Jadi tarikh thabary yang ada saat ini hanya 1/10 dari tarikh yang ingin di tulis oleh imam Thabary. Begitu juga dengan tafsir, ketika Imam Thabary mengungkapkan keinginannya untuk menulis tafsir, sahabat-sahabatnya bertanya:”besarnya seperti apa?” ia menjawab:” 30000 naskah (waroqoh). Mereka berkata:” umur akan habis sebelum ia selesai”. Akhirnya Imam Thabari menulis tafsir secara singkat sebanyak 3000 naskah (waroqot)[7]. Imam besar ini, dengan segudang ilmu yang ia miliki, tatkala sahabat-sahabatnya datang menjenguk disaat ia menghadapi syakarat al maut , mereka berdiskusi tentang sebuah masalah dalam ilmu faroid (mawaris), Imam Thabari meminta pena, tinta dan kertas untuk menulis permasalah tersebut. Salah satu temannya bertanya :” Saat ini?”. Ia menjawab :”Saya meninggal dan mengetahui permasalahan ini lebih baik daripada saya meninggal tanpa mengetahuinya“. Imam besar ini meskipun ilmu yang ia miliki sangat banyak, tetapi tatkala meninggal dunia, banyak permasalahan ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui. Begitu juga imam Malik dan ulama-ulama lainnya. Dengan demikian ilmu tidak memiliki akhir, semakin banyak yang kita ketahui maka semakin banyak pula ilmu yang belum kita ketahui. ) “Dan tidaklah diberikan ilmu kepada kamu kecuali sedikit (QS. Al isra : 85)). Maka tidak mungkin permasalahan besar ini diserahkan kepada orang bodoh.
Dan merupakan salah satu tanda kecerdasan seseorang adalah memulai ilmu-ilmu yang kecil (dasar) sebelum ilmu yang besar (tinggi), karena makanan orang dewasa bisa menjadi racun bagi bayi. Sebagai contoh: daging sangat baik untuk orang dewasa tetapi ia sangat berbahaya jika diberikan kepada seorang bayi, begitu juga dengan orang yang baru belajar ilmu, jika diberikan kepadanya ilmu yang tinggi, ilmu itu bisa membahayakannya. Oleh karena itu, merupakan tanda kecerdasan seorang thalib ilmi adalah memulai dari ilmu yang kecil dan tentunya memulai dari hal-hal yang wajib ia ketahui terlebih dahulu, seperti masalah aqidah agar terlepas dari syirik dan dan masalah ibadah dan lainnya.
2. Hirsun (ketamakan)
Seseorang yang tamak terhadap apa saja, tidak akan pernah membiarkan satu detikpun waktunya lewat dengan sia-sia. Detik demi detik akan terprogram rapi sehingga cita-cita berhasil ia raih dengan sempurna. Maka sebagai seorang thalibul ilmi harus benar-benar menjaga efisiensi waktu, karena waktu adalah umur. Seorang thalib ilmi tidak menyukai sebuah majelis yang tidak seorang pun di antara mereka benar-benar menguasai permasalahan yang sedang dibahas. Sebagai contoh mungkin diadakan sebuah majelis, dan terjadi perdebatan sampai tengah malam tetapi tidak seorangpun yang memahami permasalahan dengan sempurna. Setiap orang hanya berpegang teguh pada qila wa qola , karena ini hanya akan menghilangkan waktu.
Ulama-ulama kita dahulu termasuk orang-orang yang paling sungguh-sungguh dalam menjaga efisiensi waktu. Kita ambil sebagai contoh, Ibnu Aqil al Hanbaly[8]. Beliau mengarang sebuah buku dengan judul “al Funun” sebanyak 800 jilid dan yang sudah dicetak sebanyak 2 jilid. Al Hafidz Ad Dzahaby didalam tarikhnya berkata:” belum ada seorangpun didunia ini yang mengarang buku melebihi kitab ini (al funun). Saya telah diberitahukan oleh seseorang (yaitu Ibnu Rajab) bahwa ia pernah melihat buku tersebut diatas jilid yang ke 400”. Abu Hafs Umar bin Ali Al Qozwini berkata:” saya mendengar dari syekh-syekh kami, mereka mengatakan:” buku itu 800 jilid”.
Ibnu Aqil al hanbaly sama dengan orang-orang biasa, ia memiliki isteri, anak, alim di kampungnya, sibuk mengajar para santri-santrinya dan ia juga memiliki kesibukan tersendiri, tetapi meskipun demikian ia berhasil mengarang sebuah buku sebanyak 800 jilid, dan buku ini satu dari sekian banyak bukunya yang beliau karang. Bagaimana ia bisa menulis buku tersebut sebanyak 800 jilid?? Ia berkata:
“Tidak boleh bagi saya menyia-nyiakan sedikitpun dari umur saya, hingga tatkala lisanku capek karena belajar dan diskusi, dan mataku lelah karena membaca. Saya berfikir tatkala istirahat diatas tempat tidur. Maka takkala saya berdiri, telah terdetik didalam diri saya apa yang akan saya tulis. Saya merasa bahwa kesungguhan saya dalam menuntut ilmu pada umur 80 tahun melebihi kesungguhan saya di umur 20 tahun. Dan saya mempersingkat semampu mungkin waktu-waktu makan. Hingga saya memilih ka’ak (kue) dan saya merasakannya dengan air dari pada Hubz (roti). Hanya karena antara keduanya ada perbedaan waktu ketika mengunyah”.
Ibnu ‘Akil Al Hanbali sama sekali tidak melalaikan waktu, hingga ia terus mengulur-ulur badannya untuk istirahat hanya untuk mencapai sebuah tujuan mulia yaitu ilmu pengetahuan.
Ulama-ulama kita dahulu tidak pernah menyia-nyiakan waktu mereka sedikitpun. Maka tidak heran akhirnya mereka menjadi ulama yang benar-benar ahli di bidangnya. Jika mereka berbicara tentang satu bidang ilmu, mereka benar-benar menguasainya. Sebagai contoh Ibnu Taimiyyah Rohimahullah, seseorang yang bisa membuat setiap orang tercengang, jika kita membaca riwayat hidupnya, tidak akan pernah bosan. Sangat menjaga efisinesi waktu, oleh karena itulah Allah memberikan berkah atas umurnya. Hingga Ibnu Al Qoyyim berkata :” Saya telah melihat darinya sesuatu yang luar biasa. Ia menulis sebuah buku hanya dalam satu malam padahal orang lain mengopinya dalam waktu satu jum’at”. Padahal dalam menulis dibutuhkan ketenangan, kemudian membaca sana-sini, menulis, mendahulukan ini dan mengakhirkan itu dan sebagainya. Tetapi beliau ketika menulis laksana air mengalir.
3. Iftiqor… (butuh)
Seorang thalibul ilmi harus terus merasa butuh terhadap ilmu, jika ia merasa telah cukup maka itulah awal kegagalan. Oleh karena itu, ketika thalibul ilmi menguasai sebuah ilmu, maka tidak boleh merasa bahwa ia telah menguasai sesuatu. Tetapi harus merasa selalu kurang dan terus butuh terhadap ilmu orang lain. Ketika ia merasa sudah tidak butuh orang lain, saat itulah, ia akan mengalami kerugian yang sangat banyak. Shofyan Sauri berkata:
“seseorang tidaklah dianggap jenius hingga ia belajar dari orang yang diatasnya, sepertinya dan orang yang lebih rendah darinya”.
Iftiqor ini sangat penting sekali bagi thalibul ilmi, pondasinya adalah tawadu’ dan tidak merasa diri lebih dari orang lain alias sombong atau gengsi.
4. Gurbatun (asing)
Gurbah disini memiki dua makna. Pertama; Rihlah fi Tholab al Ilmi. Meninggalkan keluarga, rumah, kampung halaman untuk satu tujuan yaitu menuntut ilmu. Kalau kita membuka lebaran-lembaran sejarah tentang hal ini, kita akan menumukan sesuatu yang sangat mencengangkan dari ulama-ulama hadits. Sebagai contoh. Imam bukhori menulis bukunya As Shahih didalamnya terdapat sekitar 4000 hadits tanpa pengulangan. Berapa lama Imam Bukhori dalam mengumpulkan hadits-hadits ini? Berapa berapa negeri yang harus ia kelilingi? Seberapa besar rasa capek yang beliau rasakan selama mengumpulkan hadits-hadits ini? Imam Bukhori yang hafal 300 ribu hadits mengarang bukunya As Shahih selama 17 tahun. Ketika Imam Bukhori sampai di Bagdad, ada seseorang yang mendengar seseorang mengatakan bahwa Imam Bukhori tidak bisa melaksanakan shalat dengan benar. Orang tersebut kemudian mendatangi imam Bukhori dan berkata :” ada seseorang yang mengatakan bahwa anda tidak bisa shalat dengan benar?”. Imam Bukhori menjawab :” Jika saya mau, saya bisa menyebutkan 10 ribu hadits tentang shalat sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu”. Ia menulis bukunya tersebut selama 17 tahun. Dan ia kumpulkan dari berbagai kota. Contoh lain bisa kita liha pada kisah perjalanan Syu’bah bin Hajjaj dari basrah ke mekah kemudian madinah dan kembali ke basrah hanya untuk mengecek sanad hadits wudhu[9], satu bulan perjalana Jabir bin Abdillah dari Madinah ke Syam hanya untuk mengetahui satu hadits yang pernah didengar oleh Abdullah bin Unais dari Rasulullah[10] dan perjalanan ulama-ulama lainnya.
Arti kedua adalah tidak bergaul dengan orang lain kecuali dengan orang-orang yang satu tujuan (tholabu al ilmi) dengannya. Dengan kata lain tidak mempergunakan waktu untuk ngobrol dan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Jadi seorang tholibul ilmi merasa asing di suatu daerah yang tidak berpendidikan.
5. Talqin Ustadz
Menghadiri muhadarah sang ustadz atau dosen merupakan syarat ke 5 dari enam syarat sukses menuntu ilmu. Yang menghadiri kulliah akan mendapatkan minimal tiga manfaat. Pertama; Mempersingkat waktu, kedua; mengislah pemahaman yang salah, ketiga; Memberika adab. Yang pertama, satu buku yang jika dibaca sendiri membutuhkan waktu satu hari tetapi guru dapat menjelaskan dalam waktu satu pertemuan. kedua, mengislah pemahaman yang salah, sekarang ini kita sering menemukan kesalahan didalam cetakan, mungkin yang paling banyak kelihatannya di dalam buku-buku muqorror. Siapa yang akan membenarkannya?? Tentu Ustadz atau dosen.
6. Tuul Az Zaman (waktu yang lama)
Karena ilmu sangat luas dan tidak memiliki akhir maka sudah barang tentu membutuhkan waktu yang sangat lama. Pepatah Arab mengatakan :”Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.[12] Tidak ada kata berhenti dalam belajar, semakin tua umur maka semangat untuk belajar juga harus lebih tinggi sebagaimana perkataan Ibnu ‘Aqil Al Hanbali :” Saya merasa bahwa kesungguhan saya dalam menuntut ilmu pada umur 80 tahun melebihi kesungguhan saya di umur 20 tahun”.
Kecerdasan merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi oleh thalibul ilmi. Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa orang yang pintar adalah orang yang mengetahui bahwa ia tidak tahu akan sesuatu dan karenanya dia mau belajar.
Ilmu itu sangat luas sekali dan ia tidak memiliki akhir. Imam Ibnu Jarir At Thobary ulama terkenal yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik itu tafsir, hadits, tarikh, fiqh, Qiroat, ilmu lughah, ilmu filsafat, mantiq, dll, ketika ingin menulis tarikh (sejarah) ia berkata kepada sahabat-sahabatnya :” saya ingin menulis tarikh sejak Adam sampai sekarang”. Mereka bertanya :”berapa naskah (waroqoh)?”. Beliau menjawab:”30000”. Mereka berkata:” umur tidak akan cukup untuk itu”. Akhirnya beliau hanya menulis buku tarikh tersebut sebanyak 3000 naskah. Jadi tarikh thabary yang ada saat ini hanya 1/10 dari tarikh yang ingin di tulis oleh imam Thabary. Begitu juga dengan tafsir, ketika Imam Thabary mengungkapkan keinginannya untuk menulis tafsir, sahabat-sahabatnya bertanya:”besarnya seperti apa?” ia menjawab:” 30000 naskah (waroqoh). Mereka berkata:” umur akan habis sebelum ia selesai”. Akhirnya Imam Thabari menulis tafsir secara singkat sebanyak 3000 naskah (waroqot)[7]. Imam besar ini, dengan segudang ilmu yang ia miliki, tatkala sahabat-sahabatnya datang menjenguk disaat ia menghadapi syakarat al maut , mereka berdiskusi tentang sebuah masalah dalam ilmu faroid (mawaris), Imam Thabari meminta pena, tinta dan kertas untuk menulis permasalah tersebut. Salah satu temannya bertanya :” Saat ini?”. Ia menjawab :”Saya meninggal dan mengetahui permasalahan ini lebih baik daripada saya meninggal tanpa mengetahuinya“. Imam besar ini meskipun ilmu yang ia miliki sangat banyak, tetapi tatkala meninggal dunia, banyak permasalahan ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui. Begitu juga imam Malik dan ulama-ulama lainnya. Dengan demikian ilmu tidak memiliki akhir, semakin banyak yang kita ketahui maka semakin banyak pula ilmu yang belum kita ketahui. ) “Dan tidaklah diberikan ilmu kepada kamu kecuali sedikit (QS. Al isra : 85)). Maka tidak mungkin permasalahan besar ini diserahkan kepada orang bodoh.
Dan merupakan salah satu tanda kecerdasan seseorang adalah memulai ilmu-ilmu yang kecil (dasar) sebelum ilmu yang besar (tinggi), karena makanan orang dewasa bisa menjadi racun bagi bayi. Sebagai contoh: daging sangat baik untuk orang dewasa tetapi ia sangat berbahaya jika diberikan kepada seorang bayi, begitu juga dengan orang yang baru belajar ilmu, jika diberikan kepadanya ilmu yang tinggi, ilmu itu bisa membahayakannya. Oleh karena itu, merupakan tanda kecerdasan seorang thalib ilmi adalah memulai dari ilmu yang kecil dan tentunya memulai dari hal-hal yang wajib ia ketahui terlebih dahulu, seperti masalah aqidah agar terlepas dari syirik dan dan masalah ibadah dan lainnya.
2. Hirsun (ketamakan)
Seseorang yang tamak terhadap apa saja, tidak akan pernah membiarkan satu detikpun waktunya lewat dengan sia-sia. Detik demi detik akan terprogram rapi sehingga cita-cita berhasil ia raih dengan sempurna. Maka sebagai seorang thalibul ilmi harus benar-benar menjaga efisiensi waktu, karena waktu adalah umur. Seorang thalib ilmi tidak menyukai sebuah majelis yang tidak seorang pun di antara mereka benar-benar menguasai permasalahan yang sedang dibahas. Sebagai contoh mungkin diadakan sebuah majelis, dan terjadi perdebatan sampai tengah malam tetapi tidak seorangpun yang memahami permasalahan dengan sempurna. Setiap orang hanya berpegang teguh pada qila wa qola , karena ini hanya akan menghilangkan waktu.
Ulama-ulama kita dahulu termasuk orang-orang yang paling sungguh-sungguh dalam menjaga efisiensi waktu. Kita ambil sebagai contoh, Ibnu Aqil al Hanbaly[8]. Beliau mengarang sebuah buku dengan judul “al Funun” sebanyak 800 jilid dan yang sudah dicetak sebanyak 2 jilid. Al Hafidz Ad Dzahaby didalam tarikhnya berkata:” belum ada seorangpun didunia ini yang mengarang buku melebihi kitab ini (al funun). Saya telah diberitahukan oleh seseorang (yaitu Ibnu Rajab) bahwa ia pernah melihat buku tersebut diatas jilid yang ke 400”. Abu Hafs Umar bin Ali Al Qozwini berkata:” saya mendengar dari syekh-syekh kami, mereka mengatakan:” buku itu 800 jilid”.
Ibnu Aqil al hanbaly sama dengan orang-orang biasa, ia memiliki isteri, anak, alim di kampungnya, sibuk mengajar para santri-santrinya dan ia juga memiliki kesibukan tersendiri, tetapi meskipun demikian ia berhasil mengarang sebuah buku sebanyak 800 jilid, dan buku ini satu dari sekian banyak bukunya yang beliau karang. Bagaimana ia bisa menulis buku tersebut sebanyak 800 jilid?? Ia berkata:
“Tidak boleh bagi saya menyia-nyiakan sedikitpun dari umur saya, hingga tatkala lisanku capek karena belajar dan diskusi, dan mataku lelah karena membaca. Saya berfikir tatkala istirahat diatas tempat tidur. Maka takkala saya berdiri, telah terdetik didalam diri saya apa yang akan saya tulis. Saya merasa bahwa kesungguhan saya dalam menuntut ilmu pada umur 80 tahun melebihi kesungguhan saya di umur 20 tahun. Dan saya mempersingkat semampu mungkin waktu-waktu makan. Hingga saya memilih ka’ak (kue) dan saya merasakannya dengan air dari pada Hubz (roti). Hanya karena antara keduanya ada perbedaan waktu ketika mengunyah”.
Ibnu ‘Akil Al Hanbali sama sekali tidak melalaikan waktu, hingga ia terus mengulur-ulur badannya untuk istirahat hanya untuk mencapai sebuah tujuan mulia yaitu ilmu pengetahuan.
Ulama-ulama kita dahulu tidak pernah menyia-nyiakan waktu mereka sedikitpun. Maka tidak heran akhirnya mereka menjadi ulama yang benar-benar ahli di bidangnya. Jika mereka berbicara tentang satu bidang ilmu, mereka benar-benar menguasainya. Sebagai contoh Ibnu Taimiyyah Rohimahullah, seseorang yang bisa membuat setiap orang tercengang, jika kita membaca riwayat hidupnya, tidak akan pernah bosan. Sangat menjaga efisinesi waktu, oleh karena itulah Allah memberikan berkah atas umurnya. Hingga Ibnu Al Qoyyim berkata :” Saya telah melihat darinya sesuatu yang luar biasa. Ia menulis sebuah buku hanya dalam satu malam padahal orang lain mengopinya dalam waktu satu jum’at”. Padahal dalam menulis dibutuhkan ketenangan, kemudian membaca sana-sini, menulis, mendahulukan ini dan mengakhirkan itu dan sebagainya. Tetapi beliau ketika menulis laksana air mengalir.
3. Iftiqor… (butuh)
Seorang thalibul ilmi harus terus merasa butuh terhadap ilmu, jika ia merasa telah cukup maka itulah awal kegagalan. Oleh karena itu, ketika thalibul ilmi menguasai sebuah ilmu, maka tidak boleh merasa bahwa ia telah menguasai sesuatu. Tetapi harus merasa selalu kurang dan terus butuh terhadap ilmu orang lain. Ketika ia merasa sudah tidak butuh orang lain, saat itulah, ia akan mengalami kerugian yang sangat banyak. Shofyan Sauri berkata:
“seseorang tidaklah dianggap jenius hingga ia belajar dari orang yang diatasnya, sepertinya dan orang yang lebih rendah darinya”.
Iftiqor ini sangat penting sekali bagi thalibul ilmi, pondasinya adalah tawadu’ dan tidak merasa diri lebih dari orang lain alias sombong atau gengsi.
4. Gurbatun (asing)
Gurbah disini memiki dua makna. Pertama; Rihlah fi Tholab al Ilmi. Meninggalkan keluarga, rumah, kampung halaman untuk satu tujuan yaitu menuntut ilmu. Kalau kita membuka lebaran-lembaran sejarah tentang hal ini, kita akan menumukan sesuatu yang sangat mencengangkan dari ulama-ulama hadits. Sebagai contoh. Imam bukhori menulis bukunya As Shahih didalamnya terdapat sekitar 4000 hadits tanpa pengulangan. Berapa lama Imam Bukhori dalam mengumpulkan hadits-hadits ini? Berapa berapa negeri yang harus ia kelilingi? Seberapa besar rasa capek yang beliau rasakan selama mengumpulkan hadits-hadits ini? Imam Bukhori yang hafal 300 ribu hadits mengarang bukunya As Shahih selama 17 tahun. Ketika Imam Bukhori sampai di Bagdad, ada seseorang yang mendengar seseorang mengatakan bahwa Imam Bukhori tidak bisa melaksanakan shalat dengan benar. Orang tersebut kemudian mendatangi imam Bukhori dan berkata :” ada seseorang yang mengatakan bahwa anda tidak bisa shalat dengan benar?”. Imam Bukhori menjawab :” Jika saya mau, saya bisa menyebutkan 10 ribu hadits tentang shalat sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu”. Ia menulis bukunya tersebut selama 17 tahun. Dan ia kumpulkan dari berbagai kota. Contoh lain bisa kita liha pada kisah perjalanan Syu’bah bin Hajjaj dari basrah ke mekah kemudian madinah dan kembali ke basrah hanya untuk mengecek sanad hadits wudhu[9], satu bulan perjalana Jabir bin Abdillah dari Madinah ke Syam hanya untuk mengetahui satu hadits yang pernah didengar oleh Abdullah bin Unais dari Rasulullah[10] dan perjalanan ulama-ulama lainnya.
Arti kedua adalah tidak bergaul dengan orang lain kecuali dengan orang-orang yang satu tujuan (tholabu al ilmi) dengannya. Dengan kata lain tidak mempergunakan waktu untuk ngobrol dan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Jadi seorang tholibul ilmi merasa asing di suatu daerah yang tidak berpendidikan.
5. Talqin Ustadz
Menghadiri muhadarah sang ustadz atau dosen merupakan syarat ke 5 dari enam syarat sukses menuntu ilmu. Yang menghadiri kulliah akan mendapatkan minimal tiga manfaat. Pertama; Mempersingkat waktu, kedua; mengislah pemahaman yang salah, ketiga; Memberika adab. Yang pertama, satu buku yang jika dibaca sendiri membutuhkan waktu satu hari tetapi guru dapat menjelaskan dalam waktu satu pertemuan. kedua, mengislah pemahaman yang salah, sekarang ini kita sering menemukan kesalahan didalam cetakan, mungkin yang paling banyak kelihatannya di dalam buku-buku muqorror. Siapa yang akan membenarkannya?? Tentu Ustadz atau dosen.
6. Tuul Az Zaman (waktu yang lama)
Karena ilmu sangat luas dan tidak memiliki akhir maka sudah barang tentu membutuhkan waktu yang sangat lama. Pepatah Arab mengatakan :”Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.[12] Tidak ada kata berhenti dalam belajar, semakin tua umur maka semangat untuk belajar juga harus lebih tinggi sebagaimana perkataan Ibnu ‘Aqil Al Hanbali :” Saya merasa bahwa kesungguhan saya dalam menuntut ilmu pada umur 80 tahun melebihi kesungguhan saya di umur 20 tahun”.
Fasilitas copy, ctrl + a, ctrl + c, dan klik kanan telah dimatikan (disable),
apabila hendak menyalin dan mendapatkan postingan ini
silahkan mendownload
0 Reactions:
Posting Komentar
Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.