Kamis, Desember 13, 2012

Meskipun telah terjadi pada tanggal 26 Oktober yang lalu, euforia hari Raya Idul Adha masih terasa hingga sekarang. Terdapat kisah menarik dalam perayaan hari raya idul Adha. Usai menyembelih beberapa hewan kurban, Pak Paong berkata kepada anaknya “Nak, tolong ambilkan bagian tubuh terbaik dari hewan itu”. Dengan sigap si anak mengambil dan menyerahkan hati sapi dan mulut sapi. Kemudian, Pak Paong berkata lagi kepada anaknya ”Sekarang tolong ambilkan bagian tubuh yang terburuk dari hewan itu”. Tidak selang beberapa lama, si anak kembali memberikan hati sapi dan mulut sapi. Karena bagian tubuh yang diambil tetap sama, dengan nada penasaran pak Paong berkata, “Lho nak, tadi katanya yang terbaik itu bagian hati dan mulut, kok yang terburuk juga hati dan mulut?”. Si anak kemudian dengan takzim menjawab, “Iya pak, karena jika hati dan mulutnya baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh lainnya, dan kalau hati dan mulutnya buruk, maka buruklah seluruh anggota tubuh lainnya.”
Benarlah apa yang dikatakan oleh si anak dalam cerita fiktif di atas, lisan adalah salah satu penentu kualitas diri seseorang. Karena seseorang yang sering mengeluarkan kata-kata baik melalui lisannya, menandakan bahwa orang tersebut memiliki sikap dan sifat yang baik, dan ini berlaku sebaliknya. Karena lisan adalah cerminan dari hati, seseorang yang hatinya marah maka kata-kata yang dikeluarkan oleh lisannya benada keras, mengancam, dan juga tidak dapat terkontrol. Dan sebaliknya hati yang damai dan tentram akan mengeluarkan kata-kata yang tenang, dan menyejukkan bagi siapapun yang mendengarkannya.
Islam sebagai agama yang menyeluruh (syumul) sangat memperhatikan permasalahan lisan ini. Pentingnya menjaga lisan ini disampaikan dalam hadis berikut:

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (Rasulullah SAW) untuk menjaga apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id).

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan. Jadi tidak main-main, Rasulullah SAW menjamin surga bagi siapa saja yang bisa mengontrol kata-kata yang dikeluarkan oleh lisannya, tentu saja mengontrol agar hanya mengelurkan kata-kata yang baik saja, bukan yang buruk.

Lisan tidak hanya dapat mengantarkan seseorang ke Surga yang penuh kenikmatan, tetapi juga dapat mengantarkan seseorang menuju ke Neraka yang penuh dengan kehinaan.
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?” (Hadist At-Tirmidzi no. 2616)

Ingatlah bahwa segala ucapan yang kita lontarkan senantiasa berada dalam pengawasan Allah melalui malaikat-malaikatnya,
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)
Dalam kitabnya Imam Abu Hatim yang berjudul Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, menyatakan bahwa “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya. Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Mengenai lisan yang sulit dikontrol ini, Allah memberikan telah opsi kepada manusia yakni :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. (Bukhari no. 6018, Muslim no. 47).
Jadi jika dalam suatu keadaan kita tidak mampu berkata baik, maka diamlah. Terdapat satu prinsip penting dalam menjalin hubugan dengan sesama yang akan membuat diri kita terus berfikir positif dan berkata positif, yakni “Biasakanlah untuk melihat diri orang lain sebagai pribadi yang layak dipelajari sekecil apapun kisah kisah sukses yang telah diraihnya”.
Lantas bagaimana kata-kata yang baik itu? Kata-kata yang baik adalah kata-kata yang mempunyai makna yang baik, tidak menjelekkan dan memaki orang lain, dan sebaik-baik perkataan adalah kata-kata yang menyeru kepada Allah sebagai mana dijelaskan dalam Al-Quran.
“Siapa yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, “ Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim).” (QS. Al Fushilat : 33).
Sedangkan dalam keseharian, kata-kata kotor (misuh) juga turut mewarnai. Dalam acara Mocopat Syafa'at, terdapat cerita menarik,
"Jangan jangan misuh itu asal katanya wisuh, yang artinya mencuci. Karena dengan misuh, kita bisa merasa lega, lebih enteng, seakan-akan itu dosa pada rontok semua" berkata seorang audience.
Menanggapi hal tersebut, Cak Priyo yang menggawangi acara tersebut menguraikan (kira-kira) seperti ini , "Kalau mau misuh itu kita harus buat proposalnya dulu, jelas latar belakang nya apa, visi misi, tujuan, biaya yang akan keluar kalau nanti kita masuk rumah sakit atau kenapa,dll. Itu semua kita buat dalam hitungan detik dikepala, kalau tidak bisa membuatnya, ya ga usah misuh."
Ya, banyak orang yang misuh untuk menghilangkan stress mereka. Tepatnya bukan menghilangkan tetapi malah menambah, karena perkataan kotor akan memicu tindakan-tindakan yang buruk.Banyak juga yang bekata bahwa dengan misuh dalam berhubungan dengan sesama, maka akan meningkatkan rasa persahabatan di antara mereka. Keakraban mereka menjadi semakin intens. Tetapi logikanya adalah jika dengan misuh (berkata-kata kotor) persahabatan yang mulanya longgar menjadi erat apalagi jika tidak menggunakan misuh?
Sebagian orang beranggapan bahwa misuh adalah budaya Surabaya. Menurut mereka pula misuh adalah bagian dari sifat orang Surabaya yang disebut keras. Sedangkan kawan dari misuh adalah sikap yang temperamental dan suka memaki. Tetapi ketahuilah saudaraku, yang dimaksud keras disini bukanlah yang seperti itu. Tetapi yang dimaksud keras adalah orang Surabaya adalah pekerja keras, sangat ulet dan tidak akan berhenti sampai berhasil.



Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Teknik Fisika ITS, sedang menggeluti NanoTeknologi dan dunia pengembangan diri.Memiliki misi besar untuk menjadi insan yang memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih). Bagi yang ingin melakukan konsultasi mengenai pengembangan diri menuju legenda pribadi, dapat menghubungi via email Siddiq.tf@gmail.com atau no.hp 087750118140.

0 Reactions:

Posting Komentar

Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Yuk Taaruf









Nur Abdillah Siddiq
Mahasiswa Jurusan Fisika ITS, sedang menggeluti Fiber Optik dan dunia pengembangan diri. Berusaha mengabdi dan memberikan kontribusi nyata pada agama Islam, Negara Indonesia, dan Orang Tua Tercinta (H. Fajar Rahman dan Hj. Sri Tumiasih).

Blog ini adalah website pribadi Nur Abdillah Siddiq. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

Yuk Baca !

Yuk Baca !