Sekolah Dokter Jawa didirikan Pemerintah Hindia Belanda karena pemerintah merasa kewalahan menghadapi wabah yang menyerang di daerah Jawa, terutama Banyumas, pada tahun 1800-an, dan berdasarkan pertimbangan bahwa mendidik penduduk bumiputra untuk menjadi mantri cacar lebih murah dari pada membayar tenaga dokter Eropa. Sekolah ini berada di Weltevreden, pusat kota Batavia. Di dalam perkembangannya sekolah ini mengalami perubahan-perubahan baik dalam syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum, lama studi, maupun gelar yang diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun 1903, yaitu diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk memasuki sekolah itu, maka nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat STOVIA.
Ketika kebutuhan pemerintah terhadap tenaga kesehatan semakin meningkat, pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat para pemuda dari keluarga baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan jalan memberi iming-iming sejumlah beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia masuk pada dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Akan tetapi, karena tradisi para priyayi memandang rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka hanya sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya, pada tahun 1891 pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh pendidikan sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa secara gratis, dengan persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal dari keluarga priyayi, dan berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan persetujuan diam-diam sesudah lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa. Ternyata kebijakan baru itu banyak menarik perhatian kalangan anak-anak priyayi rendahan dari pada anak-anak priyayi tinggi. Kerena jika mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu, maka status sosial mereka akan terangkat dari tingkat sebelumnya.
Pada mulanya ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan bagi anak-anak bumiputra dari golongan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Misalnya anak-anak bupati, patih, wedana, jaksa, dan lain-lainnya, yang haknya disamakan dengan orang Eropa. Akan tetapi, sejak tahun 1864 seiring dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah ini juga terbuka bagi murid-murid yang pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan tersebut di atas. Dengan diperbolehkannya anak-anak bumiputra memasuki sekolah ini, meskipun dengan persyaratan tertentu dan terbatas pada golongan tertentu pula, Pemerintah Kolonial Belanda merasa tidak menerapkan diskriminasi rasial dalam menjalankan politik pengajarannya. Meskipun demikian, pada prakteknya banyak sekali diskriminasi yang dilakukan guru-guru Eropa itu terhadap siswa bumiputra.
Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan arus zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengedepankan pada keinginan untuk menjadi pegawai pangreh praja yang akan menjadikannya sebagai seorang priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah. Tidak demikian halnya dengan pekerjaan yang memerlukan keahlian ini. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para mahasiswanya dari kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi sesudah lulus, kedudukan-kedudukan yang menarik itu tidak menyebabkan bertambah besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di bidang ini. Kemungkinan hal itu disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswanya yang terlalu ketat serta kewajiban belajar yang ekstra keras yang menjadi penghalang peminatnya dari kalangan priyayi muda ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan beaya pendidikan dan pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, justru di kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan, baik di bidang kedokteran maupun pejuang sejati.
Kunci dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah pusat kota Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta sebuah kota besar di Hindia yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di lingkungan inilah berkumpul para intelektual yang memungkinkan di antara mereka untuk saling berinteraksi dan saling bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modern di lingkungan sekolahnya. Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non politik pribumi, yang tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para pelajar STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh ide-ide mereka.
Tempat yang paling disenangi sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker mempunyai arti penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra.
Douwes Dekker pula yang menyebabkan pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo, mulai belajar menuangkan gagasan-gagasannya dalam surat kabar. Hal ini memungkinkan karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Ada alasan tertentu yang mnyebabkan ia memilih para pelajar itu. Terutama adalah kemampuan berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan gagasan yang bagus, serta ketajaman penglihatan para pelajar itu dalam melihat kondisi sosial di lingkungan sekitarnya. Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang kelangsungan hidup sebuah surat kabar yang selalu menyajikan berita-berita aktual.
Perjumpaan para pelajar yang gelisah di perpustakaan Douwes Dekker ini akhirnya membuahkan suatu polemik yang ditulis oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, yang berturut-turut dimuat dalam Java Bode, sebuah harian berbahasa Belanda di Batavia. Polemik yang ditulis pada tahun 1905 itu berisi tentang kecamannya terhadap tingkah laku dan adat Jawa yang dianggapnya sebagai perintang modernisasi. Pada tahun 1905 dan tahun-tahun sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah pribumi sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat garis pemisah yang tegas antara priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan itu selalu kelihatan jelas serta selalu mengikat. Dalam keadaan apa pun suasana penghormatan itu sangat nyata. Goenawan menginginkan adanya perubahan keadaan adat-istiadat dan tata cara dalam masyarakat. Menurutnya adat yang dibuat oleh manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu diserahkannya kepada kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat yang membuat susah itu. Adat yang telah membelenggu itu telah menjadikan bangsa Jawa tertinggal dibandingkan dengan bangsa Arab dan Cina. Kedua bangsa asing itu masing-masing telah sadar terhadap perlunya persatuan untuk meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat, terutama dalam meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat, terutama dalam hal meningkatkan perekonomian. Sementara rakyat Jawa kebanyakan merupakan masyarakat miskin dan penuh dengan penghinaan bangsa-bangsa lainnya.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya disimpannya rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap pengendalian diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya. Api kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan pemuda terpelajar yang dapat melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan oleh adat dan tradisi Jawa yang penuh dengan tatanan feodal serta tahyul yang berlebih-lebihan. Hal itulah yang mengakibatkan sulitnya manusia Jawa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Kondisi masyarakat yang seperti itu yang selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar STOVIA. Mereka sering memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief, Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Api semangat itu semakin membara terlebih lagi setelah diketahui adanya berita yang menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar sekali pengaruhnya bagi kalangan terpelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikiran mengenai nasib rakyat yang selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam hari setelah kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negeri tersebut di atas termasuk menjadi bahan perbincangan. Demikian pula kepincangan-kepincangan di dalam negeri, terutama di bidang pengajaran, pendidikan, perekonomian, dan kepangreh-prajaan kolonial menjadi bahan renungan.
Endapan-endapan pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu semakin mengental setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang mengkampanyekan keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan berpengaruh agar diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya. Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu perlu untuk diberi pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah dirumuskan itu kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan di antara orang-orang yang berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang kedudukan, kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar terjadi keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat memberikan sesuatu untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografi dan kultural. Dengan demikian, tujuan persatuan itu lebih luas dari sekedar bea siswa. Para pelajar itu berpendapat bahwa sebuah persatuan itu harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi baru yang mereka namakan Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad ke-20. Pendidikan Barat telah memungkinkan bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan kesukaan membaca, hubungan-hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman sehalauan, serta akibat dari kondisi kolonialisme di sepanjang perjalanan kehidupan mereka itu dapat digunakan untuk melacak proses perkembangan pemahaman mereka terhadap nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.
Setelah membaca keseluruhan wacana diatas, saya sebagai pemuda Indonesia menjadi terbakar semangatnya. Terbakar semangat untuk memberikan kontribusi kemajuan bagi Negara Republik Indonesia seperti para pemuda STOVIA. Dilain pihak, hati kecil ini sangat miris melihat keadaan pemuda pada zaman sekarang. Pemuda sekarang dikenal sebagai warga tetap demonstrasi, dimana ada demonstrasi disana ada pemuda. Banyaknya kasus narkoba, pelecehan seksual, HIV atau AIDS, maupun tindak kriminal lainnya yang dilakukan pemuda Indonesia sekarang, tidak mencerminkan sifat pemuda Indonesia yang sebenarnya.
Pemuda adalah penerus bangsa, masa depan bangsa berada dipundak para pemuda. Hendaknya para pemuda sekarang bercermin kepada pemuda zaman penjajahan. Pemuda sekarang telah memiliki Negara yan merdeka tetapi hanya bisa merusak tatanan Negara. Berbeda dengan pemuda pra kemerdekaan, mereka hidup dibawah tekanan penjajahan kolonial, dan mereka bersatu menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia. Artikel ini sangat bagus, karena dapat memotivasi pemuda Indonesia yang saat ini berada di ambang kehancuran. Pemuda yang telah berkiblat kepada dunia barat dengan segala eksotismenya, konsumerismenya dan hedonismenya yang tidak sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Ketika kebutuhan pemerintah terhadap tenaga kesehatan semakin meningkat, pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat para pemuda dari keluarga baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan jalan memberi iming-iming sejumlah beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia masuk pada dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Akan tetapi, karena tradisi para priyayi memandang rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka hanya sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya, pada tahun 1891 pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh pendidikan sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa secara gratis, dengan persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal dari keluarga priyayi, dan berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan persetujuan diam-diam sesudah lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa. Ternyata kebijakan baru itu banyak menarik perhatian kalangan anak-anak priyayi rendahan dari pada anak-anak priyayi tinggi. Kerena jika mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu, maka status sosial mereka akan terangkat dari tingkat sebelumnya.
Pada mulanya ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan bagi anak-anak bumiputra dari golongan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Misalnya anak-anak bupati, patih, wedana, jaksa, dan lain-lainnya, yang haknya disamakan dengan orang Eropa. Akan tetapi, sejak tahun 1864 seiring dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah ini juga terbuka bagi murid-murid yang pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan tersebut di atas. Dengan diperbolehkannya anak-anak bumiputra memasuki sekolah ini, meskipun dengan persyaratan tertentu dan terbatas pada golongan tertentu pula, Pemerintah Kolonial Belanda merasa tidak menerapkan diskriminasi rasial dalam menjalankan politik pengajarannya. Meskipun demikian, pada prakteknya banyak sekali diskriminasi yang dilakukan guru-guru Eropa itu terhadap siswa bumiputra.
Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan arus zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengedepankan pada keinginan untuk menjadi pegawai pangreh praja yang akan menjadikannya sebagai seorang priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah. Tidak demikian halnya dengan pekerjaan yang memerlukan keahlian ini. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para mahasiswanya dari kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi sesudah lulus, kedudukan-kedudukan yang menarik itu tidak menyebabkan bertambah besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di bidang ini. Kemungkinan hal itu disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswanya yang terlalu ketat serta kewajiban belajar yang ekstra keras yang menjadi penghalang peminatnya dari kalangan priyayi muda ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan beaya pendidikan dan pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, justru di kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan, baik di bidang kedokteran maupun pejuang sejati.
Kunci dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah pusat kota Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta sebuah kota besar di Hindia yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di lingkungan inilah berkumpul para intelektual yang memungkinkan di antara mereka untuk saling berinteraksi dan saling bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modern di lingkungan sekolahnya. Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non politik pribumi, yang tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para pelajar STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh ide-ide mereka.
Tempat yang paling disenangi sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker mempunyai arti penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra.
Douwes Dekker pula yang menyebabkan pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo, mulai belajar menuangkan gagasan-gagasannya dalam surat kabar. Hal ini memungkinkan karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Ada alasan tertentu yang mnyebabkan ia memilih para pelajar itu. Terutama adalah kemampuan berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan gagasan yang bagus, serta ketajaman penglihatan para pelajar itu dalam melihat kondisi sosial di lingkungan sekitarnya. Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang kelangsungan hidup sebuah surat kabar yang selalu menyajikan berita-berita aktual.
Perjumpaan para pelajar yang gelisah di perpustakaan Douwes Dekker ini akhirnya membuahkan suatu polemik yang ditulis oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, yang berturut-turut dimuat dalam Java Bode, sebuah harian berbahasa Belanda di Batavia. Polemik yang ditulis pada tahun 1905 itu berisi tentang kecamannya terhadap tingkah laku dan adat Jawa yang dianggapnya sebagai perintang modernisasi. Pada tahun 1905 dan tahun-tahun sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah pribumi sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat garis pemisah yang tegas antara priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan itu selalu kelihatan jelas serta selalu mengikat. Dalam keadaan apa pun suasana penghormatan itu sangat nyata. Goenawan menginginkan adanya perubahan keadaan adat-istiadat dan tata cara dalam masyarakat. Menurutnya adat yang dibuat oleh manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu diserahkannya kepada kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat yang membuat susah itu. Adat yang telah membelenggu itu telah menjadikan bangsa Jawa tertinggal dibandingkan dengan bangsa Arab dan Cina. Kedua bangsa asing itu masing-masing telah sadar terhadap perlunya persatuan untuk meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat, terutama dalam meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat, terutama dalam hal meningkatkan perekonomian. Sementara rakyat Jawa kebanyakan merupakan masyarakat miskin dan penuh dengan penghinaan bangsa-bangsa lainnya.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya disimpannya rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap pengendalian diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya. Api kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan pemuda terpelajar yang dapat melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan oleh adat dan tradisi Jawa yang penuh dengan tatanan feodal serta tahyul yang berlebih-lebihan. Hal itulah yang mengakibatkan sulitnya manusia Jawa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Kondisi masyarakat yang seperti itu yang selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar STOVIA. Mereka sering memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief, Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Api semangat itu semakin membara terlebih lagi setelah diketahui adanya berita yang menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar sekali pengaruhnya bagi kalangan terpelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikiran mengenai nasib rakyat yang selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam hari setelah kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negeri tersebut di atas termasuk menjadi bahan perbincangan. Demikian pula kepincangan-kepincangan di dalam negeri, terutama di bidang pengajaran, pendidikan, perekonomian, dan kepangreh-prajaan kolonial menjadi bahan renungan.
Endapan-endapan pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu semakin mengental setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang mengkampanyekan keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan berpengaruh agar diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya. Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu perlu untuk diberi pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah dirumuskan itu kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan di antara orang-orang yang berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang kedudukan, kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar terjadi keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat memberikan sesuatu untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografi dan kultural. Dengan demikian, tujuan persatuan itu lebih luas dari sekedar bea siswa. Para pelajar itu berpendapat bahwa sebuah persatuan itu harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi baru yang mereka namakan Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad ke-20. Pendidikan Barat telah memungkinkan bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan kesukaan membaca, hubungan-hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman sehalauan, serta akibat dari kondisi kolonialisme di sepanjang perjalanan kehidupan mereka itu dapat digunakan untuk melacak proses perkembangan pemahaman mereka terhadap nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.
Setelah membaca keseluruhan wacana diatas, saya sebagai pemuda Indonesia menjadi terbakar semangatnya. Terbakar semangat untuk memberikan kontribusi kemajuan bagi Negara Republik Indonesia seperti para pemuda STOVIA. Dilain pihak, hati kecil ini sangat miris melihat keadaan pemuda pada zaman sekarang. Pemuda sekarang dikenal sebagai warga tetap demonstrasi, dimana ada demonstrasi disana ada pemuda. Banyaknya kasus narkoba, pelecehan seksual, HIV atau AIDS, maupun tindak kriminal lainnya yang dilakukan pemuda Indonesia sekarang, tidak mencerminkan sifat pemuda Indonesia yang sebenarnya.
Pemuda adalah penerus bangsa, masa depan bangsa berada dipundak para pemuda. Hendaknya para pemuda sekarang bercermin kepada pemuda zaman penjajahan. Pemuda sekarang telah memiliki Negara yan merdeka tetapi hanya bisa merusak tatanan Negara. Berbeda dengan pemuda pra kemerdekaan, mereka hidup dibawah tekanan penjajahan kolonial, dan mereka bersatu menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia. Artikel ini sangat bagus, karena dapat memotivasi pemuda Indonesia yang saat ini berada di ambang kehancuran. Pemuda yang telah berkiblat kepada dunia barat dengan segala eksotismenya, konsumerismenya dan hedonismenya yang tidak sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
0 Reactions:
Posting Komentar
Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.