Dewasa ini perkembangan bahasa Madura dapat dikatakan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seperti kurangnya antusias masyarakat untuk melestarikan bahasa Madura dan tidak adanya upaya pembinaan yang bertahan lama.
Masyarakat seperti acuh tak acuh bahkan terkesan membiarkan bahasa Madura hilang seiring berjalannya waktu. Memang terdapat segelintir orang yang ngotot ingin mempertahankan bahasa Madura, sementara sebagian besar lainnya membiarkan bahasa Madura tumbuh dan berkembang secara alamiah ditengah gempuran bahasa dan budaya asing. Masyarakat Madura yang mati-matian mempertahankan bahasa Madura adalah orang-orang lama yang telah berkecimpung dalam sastra Madura dan usianya pun telah uzur. Jarang sekali ditemukan kalangan muda yang turut ambil andil dan bertanggungjawab atas menurunnya kualitas bahasa Madura.
Sedikit sekali harian atau surat kabar yang mengusung bahasa dan sastra Madura sebagai sajian bagi pembaca. Jika demikian tidak akan membutuhkan waktu lama untuk melihat hilangnya bahasa Madura.
Telah banyak kongres dilaksanakan untuk menyelamatkan bahasa Madura dari ancaman kepunahan. Namun seringkali kongres tersebut diwarnai perdebatan tanpa ujung dan berakhir sia-sia.
Menurut BJ Sujibto dalam tulisannya yang berjudul “Memperbincangkan Nasib Bahasa Madura”, ada empat ciri untuk menjadikan bahasa lokal menjadi besar. Pertama, adanya pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa lokal. Kedua, adanya media sebagai sarana ungkap penuturnya. Ketiga, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan. Keempat, adanya komitmen penuturnya untuk menggunakannya dalam bahasa komunikasi.
Dalam memenuhi keempat syarat di atas, bahasa Madura jauh dari kategori terpenuhi. Pada syarat pertama, yaitu adanya pembakuan terhadap system dan struktur bahasa lokal. Bahasa Madura belum memiliki ejaan yang baku. Misalnya dalam kata baddha (wadah), seringkali ejaan yang ditulis dalam buku-buku menggunakan ejaan yang berbeda. Sehingga pada akhirnya dapat membingungkan bagi orang yang membaca.
Syarat kedua, yaitu adanya media sebagai saran ungkap penuturnya. Jelas bahasa Madura jauh dari syarat tersebut karena sedikit sekali media yang mengusung sastra Madura.
Ketiga, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan. Di sekolah-sekolah, materi pelajaran bahasa Madura memang diberikan. Namun, minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran bahasa Madura sangat rendah. Siswa kerapkali menganggap bahwa pelajaran bahasa Madura tidak penting sehingga dianak tirikan dengan pelajaran lain. Padahal peran siswa sebagai generasi penerus mutlak diperlukan untuk melestarikan bahasa Madura.
“Adanya keharusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, mau tidak mau menyebabkan adanya kecenderungan kalangan generasi muda Madura meninggalkan bahasanya sendiri.” (Azis:2009). Apabila siswa sebagai generasi muda tidak menghargai bahasa daerahnya sendiri, maka bahasa Madura akan semakin tak dikenal seiring berkembangnya zaman.
Satu-satunya lembaga pendidikan yang sampai saat ini masih bertahan dalam menggunakan bahasa Madura adalah pondok pesantren yang tersebar banyak di pulau Madura. Para santri merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Madura dalam keseharian termasuk dalam proses pembelajarannya. Bahkan banyak sekali kitab-kitab kuning berbahasa Madura yang telah diedarkan. Namun tidak dapat dipastikan sampai kapan pondok pesantren di Madura akan tetap eksis menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantarnya.
“Saat ini banyak pesantren di Madura mengalami transformasi kelembagaan (pendidikan) yang cukup menarik untuk diamati, sehingga lambat laun penggunaan bahasa Madura dalam pengajaran kitab kuning atau sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan mulai merosot.” (Mustafa:2008).
Keempat, adanya komitmen penuturnya untuk menggunakannya dalam komunikasi. Para penutur bahasa Madura mungkin sangat menghargai dan mempergunakan bahasa Madura dalam komunikasi. Namun, bagaimana dengan remaja? Dengan berbagai alasan, remaja sangat minim mempergunakan bahasa Madura sebagai bahasa keseharian.
Hal yang paling mendasar untuk melestarikan bahasa Madura tentu harus dimulai dari komunitas yang paling utama yaitu keluarga. Apabila orangtua mendidik anak untuk menghargai dan melestarikan bahasa Madura tentunya anak sebisa mungkin akan menerapkan di dalam kesehariannya. Namun yang terjadi saat ini adalah banyak keluarga yang sudah meninggalkan bahasa Madura bahkan merasa lebih bangga menggunakan bahasa lainnya.
Menurut Akhmad Sofyan, beliau pernah berjumpa dengan salah satu keluarga di Madura yang menyatakan bahwa keluarga tersebut merasa tidak percaya diri ketika berkomunikasi dengan bahasa Madura di ruang publik. Artinya bahwa keluarga tersebut merasa malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Ironisnya, keluarga tersebut merasa lebih bangga menggunakan bahasa Jawa.
Keluarga sebagai komunitas utama dalam masyarakat tentunya memegang peranan penting dalam melestarikan budaya Madura. Selain keluarga, semua lapisan masyarakat harus turut serta dalam upaya pelestarian budaya Madura. Menurut Zawawi, semua elemen masyarakat hendaknya bahu-membahu mempertahankan budaya Madura yang memiliki nilai-nilai budi pekerti tinggi.
Masyarakat seperti acuh tak acuh bahkan terkesan membiarkan bahasa Madura hilang seiring berjalannya waktu. Memang terdapat segelintir orang yang ngotot ingin mempertahankan bahasa Madura, sementara sebagian besar lainnya membiarkan bahasa Madura tumbuh dan berkembang secara alamiah ditengah gempuran bahasa dan budaya asing. Masyarakat Madura yang mati-matian mempertahankan bahasa Madura adalah orang-orang lama yang telah berkecimpung dalam sastra Madura dan usianya pun telah uzur. Jarang sekali ditemukan kalangan muda yang turut ambil andil dan bertanggungjawab atas menurunnya kualitas bahasa Madura.
Sedikit sekali harian atau surat kabar yang mengusung bahasa dan sastra Madura sebagai sajian bagi pembaca. Jika demikian tidak akan membutuhkan waktu lama untuk melihat hilangnya bahasa Madura.
Telah banyak kongres dilaksanakan untuk menyelamatkan bahasa Madura dari ancaman kepunahan. Namun seringkali kongres tersebut diwarnai perdebatan tanpa ujung dan berakhir sia-sia.
Menurut BJ Sujibto dalam tulisannya yang berjudul “Memperbincangkan Nasib Bahasa Madura”, ada empat ciri untuk menjadikan bahasa lokal menjadi besar. Pertama, adanya pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa lokal. Kedua, adanya media sebagai sarana ungkap penuturnya. Ketiga, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan. Keempat, adanya komitmen penuturnya untuk menggunakannya dalam bahasa komunikasi.
Dalam memenuhi keempat syarat di atas, bahasa Madura jauh dari kategori terpenuhi. Pada syarat pertama, yaitu adanya pembakuan terhadap system dan struktur bahasa lokal. Bahasa Madura belum memiliki ejaan yang baku. Misalnya dalam kata baddha (wadah), seringkali ejaan yang ditulis dalam buku-buku menggunakan ejaan yang berbeda. Sehingga pada akhirnya dapat membingungkan bagi orang yang membaca.
Syarat kedua, yaitu adanya media sebagai saran ungkap penuturnya. Jelas bahasa Madura jauh dari syarat tersebut karena sedikit sekali media yang mengusung sastra Madura.
Ketiga, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan. Di sekolah-sekolah, materi pelajaran bahasa Madura memang diberikan. Namun, minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran bahasa Madura sangat rendah. Siswa kerapkali menganggap bahwa pelajaran bahasa Madura tidak penting sehingga dianak tirikan dengan pelajaran lain. Padahal peran siswa sebagai generasi penerus mutlak diperlukan untuk melestarikan bahasa Madura.
“Adanya keharusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, mau tidak mau menyebabkan adanya kecenderungan kalangan generasi muda Madura meninggalkan bahasanya sendiri.” (Azis:2009). Apabila siswa sebagai generasi muda tidak menghargai bahasa daerahnya sendiri, maka bahasa Madura akan semakin tak dikenal seiring berkembangnya zaman.
Satu-satunya lembaga pendidikan yang sampai saat ini masih bertahan dalam menggunakan bahasa Madura adalah pondok pesantren yang tersebar banyak di pulau Madura. Para santri merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Madura dalam keseharian termasuk dalam proses pembelajarannya. Bahkan banyak sekali kitab-kitab kuning berbahasa Madura yang telah diedarkan. Namun tidak dapat dipastikan sampai kapan pondok pesantren di Madura akan tetap eksis menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantarnya.
“Saat ini banyak pesantren di Madura mengalami transformasi kelembagaan (pendidikan) yang cukup menarik untuk diamati, sehingga lambat laun penggunaan bahasa Madura dalam pengajaran kitab kuning atau sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan mulai merosot.” (Mustafa:2008).
Keempat, adanya komitmen penuturnya untuk menggunakannya dalam komunikasi. Para penutur bahasa Madura mungkin sangat menghargai dan mempergunakan bahasa Madura dalam komunikasi. Namun, bagaimana dengan remaja? Dengan berbagai alasan, remaja sangat minim mempergunakan bahasa Madura sebagai bahasa keseharian.
Hal yang paling mendasar untuk melestarikan bahasa Madura tentu harus dimulai dari komunitas yang paling utama yaitu keluarga. Apabila orangtua mendidik anak untuk menghargai dan melestarikan bahasa Madura tentunya anak sebisa mungkin akan menerapkan di dalam kesehariannya. Namun yang terjadi saat ini adalah banyak keluarga yang sudah meninggalkan bahasa Madura bahkan merasa lebih bangga menggunakan bahasa lainnya.
Menurut Akhmad Sofyan, beliau pernah berjumpa dengan salah satu keluarga di Madura yang menyatakan bahwa keluarga tersebut merasa tidak percaya diri ketika berkomunikasi dengan bahasa Madura di ruang publik. Artinya bahwa keluarga tersebut merasa malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Ironisnya, keluarga tersebut merasa lebih bangga menggunakan bahasa Jawa.
Keluarga sebagai komunitas utama dalam masyarakat tentunya memegang peranan penting dalam melestarikan budaya Madura. Selain keluarga, semua lapisan masyarakat harus turut serta dalam upaya pelestarian budaya Madura. Menurut Zawawi, semua elemen masyarakat hendaknya bahu-membahu mempertahankan budaya Madura yang memiliki nilai-nilai budi pekerti tinggi.
0 Reactions:
Posting Komentar
Blog adalah suatu representasi dari individu penulisnya, baik pikiran, pengalaman, perasaan dan sebagainya (Manungkarjono, 2007). Blog juga merupakan suatu hasil karya cipta yang dilindungi UU 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.